Review: Seekor Bebek yang Mati di Pinggi Kali Karya Puthut EA
Maret 08, 2016
0
komentar
Nama Puthut EA sebagai penulis cerpen,
saya tahu baru-baru ini. Pasal pamor Puthut EA yang meletup-letup baru terasa
setelah website besutannya, mojok.co, menjadi website paling kece sepanjang
tahun lalu, dan saya adalah salah satu penikmat artikel-artikel yang ditulisnya
di mojok. Artikelnya penuh metafora seperti kepolosan seorang anak yang tidak
bisa diganggu gugat. Dan ciri khas itulah yang saya temukan saat membaca 15
cerita pendek dari buku kesekian Puthut dalam antologi “Seekor Bebek yang Mati
di Pinggir Kali”.
Dari judul yang dipakai, saya pikir
bakal menemukan cerita-cerita romantis, atau paling tidak menggiurkan tentang
seekor bebek yang mati di pinggir kali karena di sembelih, kemudian dijadikan
sate, tongseng, atau penyet. Ternyata tidak. Rata-rata cerita menyajikan wacana
dengan kamuflase simbol binatang-binatang polos macam bebek dan beruang.
Semakin dibaca, semakin merasa ngeri tur tidak bisa menolak suasana untuk turut
marah, prihatin, dan kadang menyesal.
Bahasa yang digunakan Puthut sangat
sederhana dan jernih. Biasanya menggunakan sudut pandang “aku”. Aku yang
dipakai Puthut adalah anak kecil yang sangat polos dengan pikiran-pikiran
mereka yang sederhana. Beberapa waktu misalnya, setelah membaca cerpen yang
berjudul “Doa yang Menakutkan”, “Di sini Dingin Sekali”, saya terhenyak dan
menarik napas dalam-dalam. Saya merasa beruntung lahir
di era reformasi – di mana hak-hak pendidikan, beragama, berpendapat,
sedikit membaik penegakkannya – dibandingkan dengan era sebelum-sebelum
reformasi.
Puthut dalam beberapa cerpennya di
antologi ini seperti ingin memberikan perlawanan terhadap Rezim, entah rezim
apa. Sesekali juga menampakkan kebencian terhadap gerakan komunis, meratapi kengerian terhadap
Gerwani, marah terhadap kekejaman para tentara Indonesia yang menganiaya
perempuan, dan sangat kentara sekali mengangumi sosok, Pramoedya Ananta Toer. Dan
kadang menuliskan cerpen perihal umbe
rumpe kehidupan, macam “Sambal Keluarga”, “Obrolan Sederhana”, dan “Bunga
Pepaya”.
Tema besar yang mengusung kebencian
terhadap gerakan komunis, terdapat dalam beberapa cerpen yang berjudul “Koh Su”
– seorang pedagang nasi goreng
legendaris yang hilang, kemudian dalam cerpen “Rumah Kosong”, Puthut
berhasil mengdeskripsikan peristiwa kekejaman komunis dalam salah satu paragraf
penuh analoginya.
Kemudian kami menemukan sebuah permainan
yang sangat mendebarkan. Setiap sabtu sore, kami membagi diri menjadi dua
kelompok, kelompok PKI dan kelompok Tentara. Sebelum Maghrib, kelompok PKI
bertugas memasukkan dedaunan ke dalam beberapa tas kresek berwarna hitam.
Benda-benda itu kemudian harus dimasukkan ke dalam Sumur Lubang Buaya, di
belakang rumah kosong itu. Saat itulah yang merupakan detik-detik menegangkan
bagi kelompok PKI, memasukkan plastik-plastik ke dalam sumur menjelang Maghrib
(hlm. 132).
Piasnya, satu paragraf penuh analogi itu
diceritakan oeh segerombolan anak kecil ketika sedang bermain. Untung saja,
Puthut tidak memasukkan syair “Genjer-Genjer” sebagai pelengkap permainan.
Kalau sampai seperti itu, akan menjadi deskripsi yang hampir mirip aslinya.
Terkait dengan kekaguman Puthut terhadap
Pramoedya Ananta Toer, saya memberikan tabik
penuh kepadanya. Lewat cerpen “Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar”,
barulah saya mendapat sesuatu gambaran lain tentang sosok Pram. Pram, penulis
besar yang pernah dimiliki Indonesia dalam sejarah. Sosok yang sudah dimitoskan
oleh pengagum-pengagumnya, sosok yang hingga kini masih menjadi fenomenal
karya-karyanya, yang dalam hidupnya hanya ada satu kata yang membuatnya terus
hidup – melawan. Melawan kekejaman, ketidakadilan, melawan apapun yang bisa dia
lawan.
Ah, Pram, bahkan takdir membuat saya
harus lebih banyak mencari tahu tentangmu. Barang kali, kau ingin mengajari
untuk melawan juga.
Di pertengahan siang menuju sore,
sekitar pukul 15.00 WIB, 2 Maret 2016, sepanjang saya hidup dan membaca, hanya
ada dua cerpen yang bisa membuat saya menangis – sejadi-jadinya. Pertama, cerpen “Robohnya Surau Kami”
karya A.A Navis. Saya turut berbela sungkawa atas kematian kakek penjaga
mushala karena kena kibulan Ajo Sidi. Kedua,
ya, itu, cerpen “Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar”. Usai membacanya,
satu jawaban terkait rahasia telinga Pram, hanya mampu menyisakan tangis bagi
saya – lainnya tidak.
Ada salah satu paragraf kiasan yang
begitu menggelitik tentang Pram, tetapi di cerpen yang berbeda “Seekor Bebek
yang Mati di Pinggir Kali” yang membuat saya buru-buru browsing.
Begini narasinya.
Ia menarik uang itu, mengembalikan ke
dompetnya, lalu mengeluarkan uang dua
puluhan ribu tiga lembar. “Mungkin kamu tidak mau karena menukar buku Pram dengan uang
bergambar musuhnya,” ucapnya sambil kembali menyelipkan uang ke sakuku lagi.
Uang dua puluhan ribu hingga saya
selesai menuliskan review antologi ini, masih terus saya cari siapa gerangan
pahlawan bangsa yang tercetak. Apa kaitannya dengan Pram? Dan bagaimana Puthut
bisa mengatakan bahwa dia adalah musuh Pram?
Secara keseluruhan, antologi ini sangat
bagus. Dari skala A, AB, B, BC, C, dan D, saya memberikan nilai AB karena A
adalah milik Tuhan, AB adalah milik orang-orang yang menginspirasi saya, dan B
adalah milik saya.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Review: Seekor Bebek yang Mati di Pinggi Kali Karya Puthut EA
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2016/03/review-seekor-bebek-yang-mati-di-pinggi.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar