Gencar Berpromosi dan Mental Mencintai

Posted by Unknown Agustus 30, 2014 0 komentar

            Pariwisata Indonesia semestinya menjadi sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menjanjikan seperti pajak ataupun retribusi. Sayangnya, potensi yang ada belum dikelola secara maksimal. Dari pengalaman mengunjungi pariwisata di Indonesia, seperti Dataran Tinggi Dieng, Tangkuban Perahu, Gunung Bromo, dan pantai-pantai seperti Parangtritis, Bandengan, Randusanga, dan Widuri ada beberapa hal yang menjadi catatan yakni lemahnya infrakstruktur atau akses jalan menuju tempat wisata, banyaknya pedagang yang menjual ragam oleh-oleh dengan tarif yang tinggi, fasilitas umum yang tidak dikelola dengan baik, serta promosi yang tidak menjangkau semua kalangan.
            Pengembangan pariwisata Indonesia dapat dimulai dari hal yang paling mudah untuk dilakukan yakni promosi. Media promosi yang ada seperti media sosial, media cetak, booklet berwarna yang lengkap dan menarik, bahkan cara pengenalan dari mulut kemulut pun dapat digunakan. Selain itu, fenomena sebuah film dapat menarik wisatawan untuk berkunjung pun patut dicoba oleh pihak-pihak yang terkait, jangan lupakan bagaimana sekarang Semeru dan Pulau Belitong begitu terkenal karena film 5 CM dan Laskar Pelangi. Media promosi yang gencar, harus didukung dengan perbaikan sana-sini. Mensosialisasikan mental “berbudaya” dan belajar mencintai alam Negeri sendiri adalah hal utama yang segera mungkin dilakukan. Daerah-daerah di Indonesia dapat meniru kesuksesan pariwisata di Bali sebagai bukti konkretnya.


           




Baca Selengkapnya ....

Sebuah Catatan di Penghujung Ramadan

Posted by Unknown Agustus 29, 2014 0 komentar

Penghujung Ramadan 2014,
            Break menulis selama tiga bulan ternyata melelahkan. Sendi-sendi otak rasanya kaku. Perasaan rindu akan rutinitas dengan lepi tercinta meruak. Kenangan masa lalu, muncul kembali. Tentu, kenangan tentang janji yang pernah terucapkan di Bromo. 
            Empat bulan lalu, pernah kubuat sebuah komitmen untuk menyelesaikan “bakal” novelku yang pertama. Nyatanya, rutinitas seperti facebookan, kuliah, dan berorganisasi lebih menyedot waktu dan selalu kuprioritaskan. Alhasil, aku gagal memegang komitmen itu.
            Kegiatan menulis, hingga kini, bagiku masih bergantung mood. Kalau sedang baik, puluhan lembar bisa didapat dalam sehari. Sialnya, kalau mood jelek, bisa tiga bulan aku tidak nulis. Ya, kayak yang saat ini aku alamin.
            Profil ini sengaja kutulis dengan berbagai alasan. Yang jelas bukan untuk menyombongkan diri atau bahkan berbuat ria. Sama sekali tidak. Profil ini, kutulis agar aku memiliki arsip tentang hal-hal apa saja yang telah kudapat dari menulis. Arsip ini, kelak, jika aku sedang malas menulis akan menjadi sebuah cermin. Ia akan memberitahu bahwa aku-Susi Lestari, pernah mendapatkan beberapa keberhasilan dari menulis, yang yah tidak seberapa, tetapi memiliki makna yang luar biasa bagiku. Arsip ini sebagai salah satu wujud perlawanan terhadap rasa malas dan sikap anti-gagal.
            Berikut adalah profil dan arsip tentang Susi Lestari dalam hal tulis-menulis.
            Nama Susi Lestari tidak begitu terkenal dalam belantika tulis-menulis Indonesia. Orang yang mengenalnya hanya tahu bahwa Susi Lestari adalah mahasiswa prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang mempunyai hobi menulis. Organisasi yang diikutinya juga mencerminkan kesukaannya, Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes.
            Seingatnya, tulis menulis telah menjadi kesukaan Susi sejak SD. Sewaktu ia kelas lima SD, ia menjurai lomba mengarang tingkat Kecamatan Bulakamba. Selepas lomba, kesukaannya menulis mati suri. Butuh waktu enam tahun untuk Susi memulai dari awal lagi.
            Tahun 2012 menjadi tahun yang tidak akan terlupakan. Seingatnya, maaf karena ia memang mempunyai ingatan yang parah tentang nama dan tanggal jadi seingatnya terus dari tadi, ia bertekad untuk menulis lagi. Sebuah novel setebal 150 halaman, berhasil diselesaikannya dalam waktu enam hari. Novel itu  diikutsertakan dalam lomba yang diadakan oleh salah satu penerbit indie yang ada di Jakarta. Meski gagal, lomba itu telah memberikan sebuah makna mendalam.
            Setiap orang memiliki jatah gagal, dan Susi telah bersiap untuk menghabiskannya. Hari-hari yang dilaluinya sebagai mahasiswa selalu dipenuhi dengan ide-ide untuk menulis. Materi perkulihan ia kesampingkan. Pokoknya ia selalu ingin menulis.
            Sampai saat profil ini selesai ditulisan, berikut adalah capaian-capaian dari Susi Lestari:
1.    Peserta Pelatihan Menulis Kampus Fiksi Diva Press di Yogyakarta. Untuk mengikuti pelatihan ini, harus melalui seleksi terlebih dahulu. Cerpen Susi Lestari yang berjudul “Sekeping Senja untuk Ani” berhasil mengantarkannya sebagai peserta angkatan V.
2.      Masuk ke dalam “Dua Puluh Tiga Penulis Terbaik” dalam Lomba Menulis Guru-Guru Inspiratif Tahun 2013 yang diadakan oleh Universitas Negeri Jambi dengan cerpen berjudul “Aku Bukan Pecontek”. (Dibukukan)
3.  Masuk ke dalam “Sepuluh Penulis Terbaik” dalam Tidar Fiction Festival yang diselenggarakan oleh Universitas Tidar Magelang Tahun 2014 dengan cerpen berjudul “Melukis Senyum”. (Dibukukan)
4.   Masuk Ke dalam “Delapan Penulis” dalam antologi Move On yang diterbitan oleh penerbit GSB Bandung. Cerpennya berjudul “Senja Terakhir”. (Dibukukan)
5.      Juara Pertama Lomba Menulis Inspiring True Story bertema Kisah Gokil Phobia dan Antisipasinya yang diadakan oleh Sedamai Lazuardi dengan cerpen berjudul “Makhluk dalam Gulungan Daun”. (Dibukukan)
6.  Pemenang utama Lomba Menulis Cerita Pendek  bertema Ceritain Cinta yang diadakan oleh Public Event dengan cerpen berjudul “Tiga Hari Mengejar Cinta Dion”.
7.  Masuk ke dalam “Tiga Puluh Penulis Terbaik” dalam lomba menulis  bertajuk perjalanan yang diadakan oleh Forum Aisiteru Menulis (FAM) Jabodetabek dengan artikel berjudul “Edelwies di Bromo”.
8.      Pemenang Giveaway yang diadakan oleh Reza Nufa tahun 2013.
9.      Pemenang Giveaway yang diadakan oleh Nadine Zulianty Saputri tahun 2013.
10.  Pemenang Giveaway yang diadakan oleh Annisa Romadona tahun 2013.
11.  Pemenang Lomba Menulis Cerpen Mudik 2013 yang diadakan oleh Kinomedia Writer Academy dengan judul cerpen “Mudik Tahun 2013 untuk Emak.”
12.  Cerpen “Lelaki Senja dan Sepucuk Surat Berwarna Kuning” akan diterbitkan oleh BP2M dalam Tabloid Nuansa Edisi 133.
13. Pemenang Lomba Menulis Go Green yang diselenggarakan oleh Ebookland dengan judul cerpen "Gadis Aneh dan Pengusaha Sablon."
14. Masuk ke dalam "Delapan Penulis Terbaik" Lomba Menulis Superhero yang diadakan oleh Penerbit Panji dengan judul cerpen "Tiga Hero."
15. Masuk ke dalam "60 Penulis Terbaik" dalam Lomba Menulis Pengagum Rahasia Penerbit Kunci dengan judul cerpen "Love Letter yang Gagal."
            Masih sedikit sekali capaian-capaiannya dalam bidang menulis. Susi berharap sebelum menyelesaikan studi S1, telah mempunyai buku solonya. Amin.



Baca Selengkapnya ....

Macam-Macam Gombalan tentang "Panah"

Posted by Unknown 0 komentar

Part 1
Cowok: “Tadi malam aku mimpiin kamu loh.”
Cewek: “Masa?”
Cowok: “Iya. Di mimpiku kamu  jadi atlet panahan.”
Cewek: “Yang bener, mana buktinya?”
Cowok: “Nih kamu lihat dadaku penuh dengan panah cintamu.”

Part 2
Cowok: “Yang, kamu tahu nggak bedanya panah sama kamu?”
Cewek: “Apa coba?”
Cowok: “Kalau panah nancepnya dipapan, kalau kamu nancepnya di hati aku."
Part 3
Tebakan : Orang kena panah bukannya kesakitan malah senyum-senyum sendiri, kenapa coba?
Jawaban : Panteslah. Panahnya panah asamara.

Part 4
Cowok: “Yang, plis! Jangan mempermainkan aku seperti busur.”
Cewek: “Maksudnya?”
Cowok: “Iya, soalnya kamu sering tarik ulur perasaanku. Sakit tahu!”

Part 5
Cowok: “ Kamu suka olah raga apa?”
Cewek: “Panahan!”
Cowok: “Oh. Kalau aku suka banget sama lari.”
Cewek: “Kenapa?”
Cowok: “Soalnya biar bisa mengejar cintamu.”

Part 6
Biarpun kamu menyuruhku untuk menyeberangi samudera, melintasi lautan, ataupun mendaki Himalaya, pasti kulakukan. Tetapi ada satu hal yang kuminta. Tolong, kamu jangan jelalatan terus dan menebar panah-panah asmara ke semua lelaki. Kamu tahu kan, sakitnya tuh di sini!

Part 7
Cowok: “Waktu ibumu hamil kamu, ngidam kopi ya?”
Cewek: “Kok tahu?”
Cowok: “Iya, soalnya sejak mengenalmu, aku susah tidur.”
Cewek: “Gantian aku yah. Kamu tahu nggak persamaan kamu sama panah?”
Cowok: “Nggak. Emang apa?”
Cewek: “Kena panah sakit kan? Sama kayak aku kalau lihat kamu jalan bareng cewek lain. Sakit!”
Part 8
Cewek: “Kamu sedang lukis apa?”
Cowok: “Panah.”
Cewek: “Kalau begitu aku mau gambar busurnya?”
Cowok: “Lah kok gitu?”
Cewek: “Iya biar sama kayak kita. Saling melengkapi.”

Part 9
Olahraga panahan itu nggak semudah yang dipikir. Perlu usaha keras, konsentrasi yang kuat, dan pikiran yang tenang. Sama halnya untuk mendapatkan cintamu. Kalau gegabah dan tidak sabaran bisa ditinggal pergi. Apalagi kalau konsentrasi buyar, ditinggal sedikit saja bisa lari kayak kamu. Iya kamu! Yang udah ninggalin aku.

Part 10
Di salah satu ospek, seorang mahasiswa baru, sebut saja Bunga, diajak kenalan oleh seorang kakak senior.

Kaka Senior

Ke lapangan main bola
Tidak lupa nonton panahan
Neng manis siapa namanya?
Boleh bang ajak kenalan?

Bunga:

Ke pasar nyari gula
Pulangnya mampir beli panah dan bayam
Nama saya adalah Bunga
Kenalan boleh asal tidak macam-macam

Part 11
Cowok: “Kamu tahu nggak persamaan Cupid sama aku?”
Cewek: “Nggak. Emang apa, Beb?”
Cowok: “Ke mana-mana selalu bawa panah cinta yag ditujukan untuk kamu.”



Baca Selengkapnya ....

Yang Keren yang 4B

Posted by Unknown Agustus 28, 2014 0 komentar

       Woy kalian! Yang ngakunya anak muda, Masih sering galau? Masih sibuk ngeselfie di mana-mana? Masih betah mantengin facebook, twitter, ama games berjam-jam? Atau masih ngelakuin hal-hal nggak mutu yang bisa merusak diri seperti nge-drugs, tawuran, bolos sekolah atau kuliah? Kalau kalian jawab iya. Plis, baca tulisan yang satu ini.
            Enam puluh sembilan tahun Republik Indonesia merdeka. Kalau kalian “anak-mudanya” masih bingung ngejawab pertanyaan seperti, “Loe bisa ngelakuin apa sih?” berarti kalian masih belum bebas. Pikiran kalian masih terjajah. Kalau begitu keadaannya, kayaknya kalian perlu belajar banyak dengan Soe Hok Gie, satu dari sedikit anak muda Indonesia yang menginspirasi. Tidak perlu sama persis seperti sosoknya, kalian cukup belajar dan meniru apa yang telah Gie lakukan untuk dirinya, keluarga, bahkan Negara tercinta ini, seperti:
            Bermimpi : Anak muda yang nggak punya mimpi itu cupu banget! Jutaan mimpi ada di dunia ini dan kalian bebas milih. Mau jadi dokter agar bisa menyembuhkan penyakit, bisa. Mau menjadi guru untuk mencerdaskan bangsa, boleh banget. Mau jadi penulis seperti Andrea Hirata atau menjadi penyanyi go internasional seperti Agnes Mo, nggak ada yang larang. Semua sah-sah saja, apalagi buat kalian yang masih muda. Waktu, tenaga, dan kesempatan masih terbuka lebar. Hanya tinggal bagaimana kalian mewujudkannya.
            Belajar:  Gie memiliki pemikiran yang jauh ke depan dibandingkan dengan teman-temannya. Ia pintar dan selalu berprestasi di sekolah. Rahasia Gie cuma satu. Ia tahu betul kewajibannya untuk belajar. Gie memanfaatkan fasilitas seperti perpustakaan untuk meminjam buku. Dari bukulah ia memiliki pengetahuan-pengetahuan untuk mengkritik dan memprotes pemerintah Orde Lama yang melakukan penyelewengan dan ketidakadilan.
            Bertualang: Semasa kuliah, Gie aktif dalam MAPALA- organisasi pencinta alam. Yupps, sama seperti Gie nggak ada salahnya  kalau kalian memanfaatkan waktu yang ada untuk menjelalah Nusantara. Mendaki Mahameru, menyelami Raja Ampat, belajar kesahajaan suku Badui,  dan mengagumi kemegahan Borobudur. Lalu rasakan apa yang terjadi. Kalian pasti bangga dilahirkan di tanah yang indah ini.
            Berkarya: Biarpun Gie masih muda, karyanya bejibun. Ada bukunya yang fenomenal Catatan Seorang Demonstran, tulisan-tulisannya banyak bersebaran di media massa, plus puisi-puisi yang dia tulis sampai sekarang masih dibaca oleh banyak orang. Yupp, kalau kalian mau seperti Gie yang dikenang sepanjang masa. Kuncinya satu kalian harus berkarya dan menghasilkan karya. Karya yang dihasilkan tidak perlu muluk-muluk, cukup berkarya dengan apapun yang kalian suka. Pak Habibie bisa bikin pesawat juga karena suka. So, mulailah berkarya dan jangan malu untuk menunjukkan karya kalian di hadapan dunia dan berteriak, “Ini karya gue, mana karya loe?” Keren kan? Banget.
            Well, ngelakuin “4B” untuk jadi anak muda keren emang nggak mudah. Tetapi, apapun itu kalian harus percaya diri dan berani mencoba. Bung Karno pernah berkata, “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya kucabut Semeru dari akarnya. Berikan akau 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Perkataan sang Proklamator Indonesia tentunya nggak main-main dan tugas kalian “anak muda” adalah membuktikannya.


    Tulisan ini diikutsertakan dalam Writing Contest #PatriotIsMe #Advan #DamnILoveIndonesia

Baca Selengkapnya ....

Review Antologi Mengejar Angin Kategori Mahasiswa

Posted by Unknown Agustus 13, 2014 3 komentar
    

            Akhirnya janji untuk membuat riview Antologi Mengejar Angin kategori mahasiswa dapat kupenuhi. Oh, ya, dibandingkan dengan cerpen kategori pelajar, cerpen-cerpen kategori mahasiswa lebih bervariasi. Baik cara bercerita, mempersepsikan tema kebebasan, maupun pesan moral yang ingin disampaikan.
            Cerpen kategori mahasiswa dibuka dengan cerpen berjudul Gerbong. Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini menurutku yang paling nyastra. Dan benar saja, setelah kubaca biodata penulisnya, Akbar Hari Mukti gemar banget makan tulisan Pram, Arswendo, Djenar, Joko Pinurbo, dan lainnya. Ngeri, yah! Cerpen ini bercerita tentang tokoh “Aku” dengan perempuan yang duduk di sebelahnya. Keduanya dipertemukan dalam  sebuah gerbong. Berkat ruang dan waktu, keduanya akhirnya saling berbicara dan mengungkapkan tujuannya naik kereta. Menurutku, cerpen Gerbong memiliki karakteristik yang sama dengan cerpen koran Kompas karena pada saat aku usai membacanya aku bisa merasakan banyak tanda tanya bermunculan di atas kepalaku. Lantas, aku pun mengubah posisi duduk dengan kedua mata menatap ke atas. Aku ingin merenung.
            Usai merenungi cerpen Gerbong, aku berpindah ke cerpen selanjutnya yakni Biji-Biji Martani yang ditulis oleh Pandan Bara. Aku suka ide ceritanya, unik. Tidak pernah terpikirkan kalau seandainya biji-biji yang dikumpulkan oleh Martani itu digunakan untuk menjawab rasa penasaran dari si tokoh. Di cerpen ini, si Martani yang punya kebiasaan “nyeleneh” sepertinya tidak tanpa sebab. Yapp, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benar tidak? Cerpen ini, menurutku konservasi banget. Mengajarkan pembacanya untuk lebih menghargai alam beserta isinya yang diciptakan oleh Tuhan dengan sangat sempurna. Buktinya, tumbuh-tumbuhan saja berdzikir dengan cara menjalankan sunatullah tanpa mengeluh setiap waktu sampai tiba masanya untuk berhenti. Percakapan Pak Ainun dengan Martani menjadi bagian yang paling kusuka di cerpen ini. Meski begitu, aku kurang suka dengan ending-nya yang menurutku biasa saja.
            Benang Bahorok yang ditulis oleh Ambar Lusiyono, mahasiswa tuan rumah ini benar-benar istimewa. Sekilas aku membaca judulnya, muncul pikiran bahwa cerpen ini bakalan kayak cerpen pertama. Nyatanya, aku salah. Cerpen ini benar-benar Mak Jlep-Jlep-lah pokoknya. Puk-puk deh buat tokoh “Kamu” atau Kun yang akhirnya memutuskan benang “cintanya” ke tokoh “Aku”. Aishh, ini cerpen benar-benar bikin hatiku kretek-kretek karena penulis pintar banget bikin analogi cinta dari angin dan layang-layang bergambar Power Ranger. Kekurangan dari cerpen ini menurutku terletak pada tokoh “Aku” yang penggambarannya kurang konsisten. Di tengah-tengah cerpen tokoh “Aku” sepertinya sudah dibuat menyukai tokoh ‘Kamu”. Di salah satu narasinya ditulis “....Senyummu datang, mendadak bintang jadi redup.” *Gila, bintang saja kala bersinar sama giginya Kun, ini pakai pasta gigi merk apa, ya #abaikan yang ini. Eh, malah mendekati ending, tokoh “Aku” mencap dirinya jalang karena belum move on dari mantannya, Nino.
            Elnina Zee menulis cerpen dengan judul yang hampir mirip dengan cerpenku. Kalau aku judulnya Melukis Senyum, sedangkan punyanya Nina berjudul Melukis Langit Ibu. Cerpen ini menceritakan seorang anak kecil, Alif, yang punya impian untuk dapat menemui ibunya.  Rada klise sih pas bagian Alif di-bully oleh ayahnya yang tukang mabok. Dua sudut pandang yang digunakan yakni munculnya tokoh “Aku” juga sempat membuat aku terkecoh. Aku kira tokoh “Aku” manusia dan di akhir cerita bakal dituliskan bahwa tokoh “Aku” adalah ibu Alif, eh, tenyata aku salah. Tokoh “Aku” adalah malaikat yang pada akhirnya menjadi saksi dari kematian Alif dan ibunya. Dan ini berhasil menolong cerita yang idenya biasa menjadi tidak terduga di ending-nya.
            Meski dipenuhi dengan local wisdom Pulau Dewata, cerpen Anginku Apa atau Siapa karya Evnaya Sofia mengalir dengan datar dan hambar. Mba Evi yang sepertinya ingin menonjolkan budaya banget, malah  kelupaan untuk mengeksplor ide utama yang sebenarnya bagus jika dikembangkan plus dipadukan dengan penguatan penggambaran  tokoh “Aku” dalam menghadapi dilema antara memilih agama yang diyakininya dengan suami yang amat dicintainya.  Ending yang dibuat menggantung karena pertanyaannya, juga kurang menyentak. Kurang bagus digunakan sebagai pamungkas. Meski begitu, aku tetap suka dengan beberapa detail budaya Bali yang kental dan itu menjadikanku pengen ke Bali. Oh, ya, saran gratis ini untuk penulisnya. Kayaknya akan lebih membuat penasaran apabila tidak semua unsur budaya Bali diberi catatan kaki. Kalau sudah diberi footnote semua, pembaca akan malas mencari tahu.
            Cerpen Mengejar Angin atau dalam bahasa Belandanya Achtervolgen Wind karya Flazia ini cakep punya dan memang layak menjadi jawara. Alur yang dibuat maju-mundur ini, berhasil membuatku penasaran. Okeh, kukira ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan Bayu kepada Windi, tetapi ternyata aku salah. Ini cerita sebuah cinta yang diungkapkannya telat.  Padahal kan dua-duanya saling punya rasa sejak kecil. Ada bagian yang menurutku kurang pas nih. Emang boleh yah, orang yang habis operasi mata langsung lari-larian? *pertanyaannya ini kutunjukan untuk penulisnya yang juga calon dokter. Kok kayaknya serem banget gitu. Ah terlepas dari semuanya, cerpen ini bikin nyes...pengorbanan Windi-nya itu loh yang nggak nahan. Salut deh, buat seseorang yang bisa mencintai dengan cara seperti itu.
            Dibuka dengan sebuah kata tabularasa, cerpen Penggali Pusara Angin yang ditulis oleh Risa Rii Leon membuatku berpikir. Kayaknya pernah denger tentang tabularasa dari seorang dosen yang mengajar Psikologi Pendidikan, tapi lupa artinya. Well, balik lagi ke review-nya. Tidak menyangka juga tokoh utamanya, Renan, memiliki persamaan dengan keseharianku sebagai seorang reporter. Yupps, rasanya dikejar deadline saat menulis berita tuh frustasi banget! *nunjuk layar yang masih kosong melompong. Cerpen ini ke luar jalur dari bayanganku. Kukira akan disuguhi cerita tentang perjuangan seorang reporter untuk mengalahkan deadline, eh, ternyata malah sebuah cerpen yang menurutku hampir menyerupai esai liris. Penulis kurang memasukkan tokoh dalam narasi penggambaran makna “bebas” dan itu berhasil membuat cerpen ini menjadi kaku meskipun tak hanya sekadar cerita yang didapat saat membacanya. Aku mendapatkan banyak pengetahuan dari satu cerpen ini.
             Disuguhi cerpen yang narasinya terlalu banyak, jujur di awal-awal membuatku bosan. Ya, itulah yang kurasakan saat membaca cerpen yang ditulis oleh Sifa Afidati yang berjudul Sayap Garuda. Kebosanan ini ditambah lagi dengan ada banyaknya tokoh “Aku” yang bercerita. Di bagian awal tokoh “Aku” pyur sebagai aku. Kemudian, tokoh “Tegar” yang menceritakan dirinya dengan menggunakan “Aku” juga. Alhasil, karena pendeskripsian “Aku” yang hampir sama untuk kedua tokoh utama menjadikan beberapa bagian dalam cerpen ini cacat logika (hal.115). Menggarap cerpen dengan model berpindah-pindah sudut pandang memang sering terjadi yang seperti itu, apalagi menggunakan sudut pandang pertama. Jatuhnya malah mencederai cerita dan membuat pembaca kebingungan  mengenali tokoh mana yang sedang bercerita. Well, tetapi aku senang dengan tokoh “Tegar” yang ternyata memiliki mimpi yang sama denganku, mendirikan sebuah taman baca. FYI, cerpen ini dicetak dobel. Semoga saja penulisnya selalu mendapatkan rejeki yang dobel. Amin.
           
            Menurutku, judul Mamak Mimpiku Tak Hanya Angin kurang menarik untuk dijadikan judul sebuah cerpen. Kurang menjual gitu. Tetapi, nggak papa juga sih kalau misalnya Arrum, penulisnya, enjoy menggunakan judul semacam ini. Kalau aku sih memang kurang nyaman. Cerpen ini panjang dan menurutku membosankan. Cerita digali dari ide yang sudah biasa tentang si tokoh utama Riani yang memperjuangkan mimpi berkat dukungan dari seorang inspirator handal, Mamaknya. Cerita Riani untuk mimpinya dan mengejar kebebasan datar saja. Itu mungkin juga disebabkan oleh alur yang maju terus, walaupun di awal sudah diberikan flasback.  Meski begitu, cerpen ini pada akhirnya dapat ditolong oleh kehadiran ending yang tidak tertebak. Yupps, ternyata Mamak Riani yang membesarkan Riani dengan begitu gigihnya memiliki kekurangan yakni tidak bisa melihat. Ah, itu membuatku merinding. Seorang ibu memang luar biasa. Bisa-bisanya gitu melakukan hal-hal yang bahkan tidak terpikirkan untuk anak-anaknya. *Untuk ibuku yang ada di Brebes, telah kusampaikan salam rinduku lewat angin, nih. Jangan lupa dibalas dengan peluk dan cium. #Pengen  Nangis.
            Cerpen terakhir merupakan karyak, *Bagian ini nggak ada yang nanya, merupakan cerpen yang kukira nggak bakal lolos. Eh, ternyata lolos. Alhamdulilah ya, sesuatu. Melukis Senyum merupakan cerpen yang mengambil  empat seting yang berbeda. Gunung Bromo, Yogyakarta, dan Wonosobo merupakan tempat yang sudah kukunjungi dan memiliki jutaan kenangan di long term memoriku, sedangkan Jepang merupakan negara yang pengin kudatangi.
            Cerpen ini kupersembahkan untuk Pimpinan Redaksiku, Mba Dewi Maghfiroh yang telah memberikan izin untuk liputan di Bromo. Benar-benar menakjubkan! Tokoh Arendo juga merupakan tokoh imajiner untuk sosok Yoda, seseorang yang kutemui di Balaidesa Ngadisari.
            Well, membaca sembilan cerpen kategori mahasiswa memperkaya ilmuku  tentang ragam teknik penulisan cerpen. Benang merah yang bisa kuambil dari keseluruhan cerpen dalam antologi  Mengejar Angin adalah bahwa angin adalah tetap angin. Makna itu tidak akan pernah berubah sepanjang tidak ada usaha untuk mengejarnya. Sekali lagi, aku benar-benar bangga berada di antara sekian nama dalam antologi ini…*bentar ambil tisu. Dan, kuucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada panitia penyelenggara, Mas Kury Yusuf dan kawan-kawan dari Bengkel Seni Universitas Tidar Magelang yang kabar gembiranya sudah diekstrakkan menjadi perguruan tinggi negeri. Berkat event ini, sebuah tali silatuhrahmi yang semoga tetap mengikat sepanjang waktu bernama Pasukan Dandelion tercipta. Semoga kita selalu dilimpahi berkat dari Allah Swt. agar selalu istiqomah dalam berkarya di jalur literasi. Amin, ya Allah. The lastaku memilih cerpen Benang Bahorok sebagai cerpen favoritku.
Antologi Mengejar Angin dipadukan dengan setoblok getuk goreng asli Magelang

Pasukan Dandelion


           
Semarang, 14 Agustus 2014

Ditulis bertepatan dengan Hari Pramuka oleh seorang prajurit dandelion di sebuah kos yang masih sepi penghuni.  

Baca Selengkapnya ....

Review Antologi Mengejar Angin Kategori Pelajar

Posted by Unknown 1 komentar

         Kata yang ingin kuucapkan pertama kali adalah Alhamdulilah. Akhirnya antologi ini sampai ditanganku setelah beberapa sebab sempat nangkring lama di kantor pos. Rasanya senang banget, akhirnya antologi yang dipertemukan lewat lomba Tidar Fiction Festival ini bisa kubaca. Dari awal memang ada niatan akan membuat review cerpen milik  lima pelajar dan sepuluh mahasiswa ini. Tetapi, baru bisa kutuliskan hari ini.
            FYI, setelah diambil dikantor pos, aku segera membaca habis isi antologi ini. Ada dua kata yang ingin kuucapkan. Kalian Keren! *nunjuk biodata masing-masing penulis. Well, langsung saja disimak review dari pembaca amatiran sepertiku...
            Buat kategori pelajar, aku mulainya dari cerpen keren karya Anitahahaha yang berjudul Diary Anya Mengajaknya Berlari. Cerpen ini tepat banget dijadiin sebagai pembuka. Ringan dan ngena. Diksinya juga keren. Aku sempet syok dan dibuat kagum sama Anita. Nggak nyangka anak SMA yang suka banget sama senja ini bisa nulis cerpen  macam ini. Di antara tokoh yang ada yang paling kusuka adalah Ka Estu. Caranya mengamati Anya, benar-benar so sweet. Kekurangan dari cerpen ini, kurasa hanya adanya beberapa typo. Selain itu, alasan mengapa mama Anya terlalu mengekang anaknya sendiri juga sedikit membuatku penasaran.
            Lanjut ke cerpen kedua berjudul Kanang. Saat kubaca nama penulisnya, kukira ia seorang laki-laki, tetapi ternyata aku salah. Arditya GF adalah seorang perempuan. Cerpen yang menggunakan judul dari nama tokoh utamanya ini bercerita tentang Kanang yang hidupnya terkekang oleh adat yang terlalu mendeskriminasikan seorang perempuan. Kentara betul penulis ingin membuat cerpen yang kental dengan budaya lokal Pulau Kalimantan, tetapi entah mengapa aku merasa agak dipaksakan. Aku kurang bisa masuk ke dalam budayanya. Meski begitu, aku tidak menyangka ending-nya bisa seperti itu. Cukup mengejutkan. Twist-nya dapat. Tetapi, seperti ada yang janggal di cerpen ini. Di awal disebutkan bahwa Umak sangat tidak menghargai anak perempuan, bahkan ia ikhlas-ikhlas saja bila anak perempuannya mati, tapi kenapa diakhir cerita, Umak mau menerima Kanang saat dititipi oleh ibu kandung Kanang. Jadinya bersebrangan gitu.
            Cerpen Mencari Napas yang ditulis Nur Fahmia dipenuhi dengan diksi-diksi yang keren. Tokoh Dimas dalam cerpen ini mirip dengan tokoh Estu di cerpennya Anita. Ya, mereka sama-sama menyukai seseorang yang memiliki masalah keluarga. Rena digambarkan sebagai gadis yang senang menulis, rajin, pendiam, dan jutek pada Dimas. Tetapi, karena perjuangan Dimas yang luar biasa dan pantang menyerah untuk meluluhkan  hati Rena, akhirnya di akhir cerita Rena dapat memberikan senyumnya kepada Dimas. *Fahmia kuucapkan selamat ya, cerpen ini memang pantas jadi yang terfavorit pilihan juri. 
            Sesty Arum dengan cerpennya yang berjudul Satu Mimpi Lagi memang layak buat jadi juara kategori pelajar. Sosok pencerita “Gue” benar-benar hidup. Karakternya juga kuat. Suka banget aku sama cerpen ini. Ceritanya itu ngalir banget dan banyak kejutannya. Tokoh “Gue” juga berhasil membuatku merenungi lagi tentang sebuah mimpi yang seharusnya diperjuangkan bahkan hingga napas terakhir. Selain tokoh “Gue” aku juga suka banget sama Hara. Salah satu quote dari Hara yang sangat menginspirasi adalah “Mimpi memang harus diwujudkan, tetapi yang seharusnya kita kejar adalah kebebasan untuk mengejar mimpi itu.” *Quote ini mengalami perubahan dari  bentuk aslinya. Oh, ya, cara Sesty mempertemukan “Gue” dan Hara lewat “lari” menurutku keren banget.
            The Wind Catcher (silahkan di terjemahkan sendiri artinya) merupakan cerpen yang ditulis oleh Lio Swara bercerita tentang sebuah keluarga yang kaya raya. Ayah keluarga itu menghendaki anaknya menjadi penerusnya kelak. Tetapi sayangnya, dari ketiga putranya tidak ada yang sesuai kehendaknya. Anak pertamanya kabur untuk meraih mimpinya menjadi Tentara. Tomi-anak kedua, meskipun mau menjadi penerus bahkan mengorbankan mimpinya untuk menjadi dokter ternyata juga mengalami kegagalan dalam menjalankan perusahaan. Terakhir, Niko, seorang yang jenius menjadi harapan terakhir ayahnya ternyata menolak dan bersikeras untuk menjadi seorang pilot. Menarik sebenarnya ide dari cerpen ini. Akan tetapi ada beberapa hal yang membuat cerpen ini jadi aneh. Dialog-dialog yang digunakan terlalu metafor. Agak lebay gitu. Aku kurang setuju seorang anak berbicara dengan ayahnya dengan perkataan penuh majas seperti itu.
            Kelima cerpen kategori pelajar di atas seperti memiliki benang merah yakni tentang persamaan persepsi dari kelima penulis cerpen. Semuanya rata-rata menggambarkan tema “Mengejar Angin” sebagai usaha untuk memperjuangkan sebuah mimpi. Anya dengan mimpinya sebagai novelis.  Kanang dengan mimpinya untuk dapat menuntut ilmu. Rena dengan mimpinya untuk mencari uang. “Gue” dengan larinya dan Niko untuk menjadi seorang pilot. Pada bagian terakhir review ini, aku memilih cerpen “Satu Mimpi Lagi” karya Sesty untuk menjadi cerpen kategori pelajar yang paling kufavoritkan.

            

Baca Selengkapnya ....

Review Novel Amina Part 1

Posted by Unknown Agustus 12, 2014 0 komentar
       

          Tentu saja, setiap perempuan yang berumur 20-tahunan, paling tidak seperti aku. Seorang mahasiswa, jomblo, aktif dalam bidang jurnalistik, akan memiliki satu pemikiran yang sama tentang hidup ini. Bahwa hidup lebih menyenangkan jika tidak hanya diam, melainkan terus bergerak agar tidak bosan dan mudah jenuh. Okeh, tulisan ini juga terinspirasi atas meninggalnya aktor Holywood, Robin Wiliams. RIP buatnya. Moga saja meskipun bunuh diri menjadi sebuah pilihan, ia dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Tuhan.
            Barangkali ketika aku bosan, ada tiga alternatif pilihan untuk menghilangkannya. Traveling, menjadi pilihan paling ampuh. Obat mujarab  yang tidak tertandingi di dunia. Tetapi sayangnya pepatah lama mengatakan “Ada Uang Ada Barang” berlaku untuk alternatif yang satu ini. Ya, anggap saja aku tidak dapat meluangkan banyak uang, sehingga terkadang traveling menjadi opsi terakhir.
            Alternatif kedua adalah membaca buku. Aku suka teenlit, ya itu karena ringan banget buat dibaca. Ampuh juga buat jadi hiburan yang murah meriah. Nah, alternatif ketiga lah yang paling kugemari untuk kulakukan. Nonton film Korea. Sejak demam Korea masuk sekitar tahun 2000, aku salah satu yang terjangkit oleh virusnya. Bayangkan saja dalam sehari, aku bisa menghabiskan satu drama Korea yang lumrahnya terdiri atas 16-20 episode. Drama Korea memang benar-benar virus yang luar biasa, paling tidak bagiku.
            Aku tak ingat, berapa banyak drama Korea yang sudah kutonton. Jika kusebutkan satu per satu mungkin aku tak bisa. Bukan karena apa-apa. Kesulitan dalam diriku yang hingga tulisan ini selesai dibuat salah satunya adalah kesulitan untuk menghafal nama, judul, bahkan warna angkot. *untuk yang terakhir, memiliki kenangan tersendiri karena berakibat aku diturunkan di tengah jalan dan ditertawakan oleh anak  anak Sma.
            Kujelaskan lagi, anggaplah untuk kali ini aku tidak memperdebatkannya. Di sini, hanya akan kutuliskan pengalamanku berdasarkan kisah nyata (True Story). Jadi begini, Selasa (12/8) aku membaca sebuah novel Amina karya Muhammed Umar, pengarang asal Nigeria. Novel milik teman yang kupinjem dan sudah dua bulan ini berada di kardus. Penasaran, karena inget beberapa teman yang telah membacanya memberikan komentar yang bagus-bagus. Di antara beberapa tumpukan buku yang plastiknya saja masih ada, aku memilih Amina yang berpenampakan kumal, bau, dan tidak sedap dipandang mata.
            Lembar demi lembar novel ini kubaca. Biasa, sebagai seseorang yang punya mimpi untuk jadi penulis novel, dilembar pertama aku membacanya dengan teliti. Ya, aku amati diksi, gaya bercerita, cara menyusun alur, dan juga cara menyampaikan pesan moral lewat narasi dan dialognya. Menarik dan mudah dipahami itu hipotesaku sementara. Ya, untuk novel terjemahan Amina memiliki keunggulan sendiri. Aku pernah membaca novel terjemahan yang berjudul Mengapa Tuhan Tertawa. Dari judulnya saja sudah bikin penasaran apalagi isinya, pikirku. Mantap! Tetapi tidak dalam kenyataan. Novel ini telah membuat aku hilang selera untuk membaca, bahkan untuk sampai ke lembar ke sepuluh. Alasannya karena bahasanya njlimet dan susah dipahami olehku yang saat itu masih duduk di bangku Sma kelas dua. Barangkali jika ada waktu aku akan mulai membaca lagi novel itu.
            Memasuki lembar selanjut dan selanjutnya, Amina semakin membuatku tercengang. Saat menulis ini, aku baru sampai di halaman 79. Ada beberapa hal yang membuatku terhenyak dan sempat menahan napas karena tidak menyangka. Umar dapat menuliskan novel dari bahan yang begitu pelik di dunia ini. Bahan yang yang membuatku ogah mempelajari padahal aku kuliah ambil jurusan itu. Yupps,  bahan dari Amina adalah masalah politik, gender, pembagian kelas, dan kapitalisme di negara-negara dunia ketiga yang terletak di benua Hitam, Afrika.
             Di bagian awal tulisan ini, aku membuat beberapa opsi tentang bagaimana caraku menghilangkan kebosanan. Tentu saja, dengan beberapa kondisi yang memengaruhinya. Di Amina, ternyata menemukan hal yang sedikit mirip. Salah satu tokohnya, Fatima yang digambarkan sebagai seorang wanita yang memiliki pemikiran progresif, peduli terhadap masyarakat khususnya nasib perempuan, dan menentang kapitalisme ala Barat.
            Fatima adalah sosok yang tidak kumengerti dalam novel ini. Biasanya seorang perempuan menyukai hidup mewah, memiliki suami kaya raya, hidup dengan nyaman, dan juga tidak suka berdiskusi. Tetapi di novel ini, Fatima digambarkan sebagai sosok yang berbeda. Dia memilih bercerai dengan suaminya yang kaya hanya karena ia tidak bisa berkompromi dengan prinsip-prinsipnya. Ah, sedikit liar, bukan? Sepengetahuanku, bukankah seorang perempuan surganya dekat sekali dengan suaminya. Fatima, dalam sikap yang  begitu tegas karena suaminya termasuk dalam golongan “Kelas Borjuis” tidak menerima semua kenyamanan yang didapatkannya.
            Fatima, janda yang berpikiran cerdas itu pun tak tanggung-tanggung dalam berpikir ia mendebat seorang Kapitalis bernama Bature. Di Bab lima, dituliskan saat Bature menawarkannya untuk mencoba seorang Kapitalis, beginilah jawaban Fatima.
            “Kuakui Anda memang kuat. Tapi tidak berarti aku akan bergabung denganmu. Aku punya misi, dan satu hal yang tak akan pernah kulakukan adalah berkompromi atas prinsip-prinsipku. Aku lebih suka minum air putih dan tidur dengan harga diri yang utuh daripada makan kaviar tapi jadi pelayan kapitalisme.” (hal. 58)
           
            Bersambung...

            *Ah, ya satu hal yang tidak bisa kumengerti lagi dari Fatima, ia sangat suka    berdiskusi. Menggilai malah. Bayangkan jika Fatima adalah aku? Pasti cerita tentang  Fatima akan berakhir di halaman awal-awal.
                       
            *Tulisan ini kupersembahkan untuk seorang teman, aku berkata padanya akan        memulai nulis lagi di blog. Ini adalah tulisan pertama yang kubuat setelah sekian bulan vakum.
           
            *Terimakasih juga buat Misbah A. Nurdi yang telah menyarankan novel ini    buatku. Novel ini memiliki hal semacam mantra sepertinya. Baru sampai halaman 79 saja,       aku tidak sabar untuk menuliskan tentang reviewnya.       Meskipun tidak lengkap.

            

Baca Selengkapnya ....

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .