Antara Susi, Dion, dan Seorang Peri

Posted by Unknown November 14, 2014 2 komentar


Sedari kecil, kalau ditanya cita-cita, paling banter gue jawab, “Pengen jadi guru.” Suer itu jawaban paling absurd dalam otak gue. Gimana nggak? Track record gue lumayan jelek. Di bangku SD, gue pernah diskors gara-gara mecahan kaca gerobak tukang somay. Ya, gimana nggak pecah, gue kira tuh pendil yang isinya air, lagian gue juga nggak salah timing, karena memang lagi jadi peserta lomba “pentung pendil” pas tujuh belasan.
Di bangku SMP, gue nggak kalah santer dibicarain sama ibu dan bapak guru. Bayangin aja, ketua kelas 7B jadi provokator anak buahnya buat bolos masal pas pelajaran BK. Gila kan tuh ketua! Dan itu gue. Gue kesel aja sama guru BK yang tanpa ampun, setiap minggu ngambil sabuk orang. Katanya, sabuk gue kebesaran (jangan dibayangin gue pake sabuk tinju). Ah, padahal modus. Bilang aja, buat dijual. Makanya, gue sebel ikut kelasnya.
Ternyata perjalanan gue masih panjang. Di SMA, gue memang nggak senakal dulu. Tapi, gue ikut ekstrakurikuler yang sangar, beladiri bro. Biar bisa ikut tawuran. Iya, tawuran sama adik, kakak, dan bapak gue. Alhasil, gue bener-benar ditakuti seantaro sekolah. Sadis! Tapi, itu nggak bertahan lama. Seperti kisah-kisah dongeng, ada seorang peri yang muncul untuk menolong gue keluar dari kehidupan yang kelam. Peri itu bernama Pak Salim. Guru PPKn gue.
Pak Salim atau sering gue plesetin jadi “Pasal 1 M” mendidik gue jadi warga negara yang baik yang taat asas dan hukum. Pak Salim bahkan mempercayakan gue buat jadi delegasi lomba nasionalisme tingkat provinsi Jawa Tengah. Gue trenyuh. Terharu. Pilu. Tak sanggup berkata apa. Akhirnya, dengan terpaksa gue terima.
Lomba nasionalisme di adain di Boyolali selama tiga hari. Semangat gue bener-bener membara saat itu. Gue yakin, Pak Salim tidak salah memilih. Dan gue bakal buktiin! Sayangnya, gue emang terlalu kepedean. Pada babak penyisihan, tim sekolah gue harus bertekuk-lutut, kalah. Gue bener-bener malu, setelak-telaknya.
Di tengah galau yang melanda, gue iseng jalan-jalan di suatu sore yang kemilau jingganya begitu indah-masih di hotel tempat menginap. Di saat itulah, gue bertemu dengan Dion. Ya, gue tahu namanya dari bagde yang ia kenakan. Awalnya gue nggak percaya cinta pada pandangan pertama, tapi setelah gue bertemu dengan Dion. Kepercayaan itu musnah. Cinta pada pandangan pertama itu memang ada.
Malamnya begitu tahu Pak Salim mengajak pulang, gue menolak. Gue beralasan untuk menambah ilmu harus melihat perlombaan sampai final. Pak Salim yang bijak, seperti biasa menerima alasan gue. Senengnya minta ampun. Gue gegas. Mengatur strategi. Ya, strategi paling abstrak yang pernah gue lakuin seumur hidup gue. Gue mau nembak Dion.
Pertama, gue cari tahu kamar inapnya. Dan hal itu bukan urusan yang sulit. Malamnya, gue beli secarik kertas berwarna putih. Gue mau nulis surat. Cara yang klasik, tapi gue percaya bakalan berhasil. Sepenuh hati, gue tulisi kertas cinta untuk Dion dengan puisi-puisi indah yang gue copy-paste dari internet. Maklum, gue diburu waktu. Kalau buat sendiri agak kelamaan.
Semalaman gue bikin surat. Sampai gue tidur di meja. Paginya, gue kaget dibangunin sama teman gue, Fira. Katanya, timnya Dion kalah di semi final, dan mereka sudah siap-siap pulang siang ini. Gue panik. Buru-buru gue ambil handuk. Mandi secepatnya.
Setelah berpakaian rapi, gue berlari secepatnya setelah menyambar surat di meja. Gue biarin Fira terbengong-bengong di tempatnya. Dia paling berpikir gue lagi kerasukan. Dan itu nggak masalah. Buat gue, masalah yang paling gawat adalah gue nggak bisa ngomong apa-apa ke Dion pas gue serahin suratnya. Otak gue bener-bener blenk. Saat Dion udah nerima suratnya, gue lari. Sekencengnya. Tong sampah di depan gue bahkan tertubruk kaki gue. Sakit sih, tapi lebih sakit lagi saat gue lihat Dion tak kunjung manggil-manggil gue. Padahal gue jatuh terjerembab. Dion malah ngeloyor, masuk ke dalam kamarnya.
Seperti orang yang jatuh lalu tertimpa tangga, seperti itulah hidup gue hari itu. Kecewa dengan sikap Dion yang tak acuh, gue pergi ke balkon hotel. Gue merenung. Gue nangis. Gue tunjuk dada gue, sakit.
Saat dua mata gue dipenuhi air mata, samar gue dengar langkah kaki yang menghampiri gue. Gue beringsut dan membalikkan badan, oh, peri gue datang. Pak Salim datang dengan langkah yang panjang-panjang.
“Susi...”
“Iya, Pak.” Gue sendu, bener-bener tidak menyangka Pak Salim ada di depan gue sekarang.
Saat gue mau menceritakan kisah gue yang pilu, Pak Salim mengacungkan satu tangannya. Gue diam, Pak Salim terlihat kesal dan marah.
“Susi, mana surat yang kamu bawa? Kenapa amplop ini isinya puisi tembak-tembakkan nggak jelas?”
Gue kaget, terperangah. Nggak percaya dengan perkataan Pak Salim.
“Memang kenapa, Pak? Sepertinya saya salah ambil.” Gue berkilah.
Seperti tersambar petir di sore hari yang bolong, perkataan Pak Salim bener-bener mengagetkan gue. Daebak! Gue salah ambil amplop.
“Isinya uang pembinaan untuk satu tim.”
            Jantung gue mau copot demi mendengar nilai rupiah yang gue hilangan. Tanpa pikir panjang, gue berlari menuruni tangga dan baru berhenti di depan pintu kamar Dion yang sayangnya sampai suara gue serak nggak juga muncul batang hidungnya. Lutut gue lemes. Keringet dingin bercucuran membahasi kening. Di pikiran gue hanya ada satu hal yang gue pikirin, di mana Dion berada?
            Dion dan timnya sudah pulang. Membawa uang gue juga. Ah, sial! Selain gagal mendapatkan cinta Dion, gue juga gagal menjaga kepercayaan Pak Salim. Dua hal tersebut telak membuat gue nyesel seumur hidup.
            Tiga bulan lamanya gue harus berhemat dan menabung rupiah demi rupiah agar bisa mengganti semua kerugian. Meskipun sudah gue ganti, Pak Salim tetap tidak berubah. Kepercayaannya sudah hilang. Pak, gue bener-bener nyesel. Kalau waktu bisa diputar, gue nggak akan bertindak seperti itu.
            Dari situlah, gue belajar banyak hal dan membuat gue semakin dewasa. Gue menata ulang hidup gue. Mulai menyusun lagi cita-cita gue. Sekarang gue tahu, gue mau jadi apa kalau ditanya orang. Gue mau jadi guru PPKn. Guru PPKn yang seperti Pak Salim. Kalau gue udah nggak dipercaya lagi jadi muridnya yang baik, gue mau mencoba jadi partner-nya yang baik. Saat SNMPTN, gue mantap mengambil Prodi PPKn di salah satu universitas negeri yang ada di Semarang. Gue diterima. Sampai semester lima ini, gue terus berjuang untuk menjadi calon guru yang baik. Dan gue yakin, kepercayaan Pak Salim akan kembali kalau gue bener-bener menunjukkan perubahan. Ya, itulah sekelumit cerita tentang gue, Dion, dan Pak Salim. Ah, ya, Satu hal lagi, alasan lain gue mau jadi guru PPKn yang sampai saat ini belum ada teman gue yang tahu adalah obsesi gue sama Dion. Gue yakin, Dion juga calon guru PPKn, saat takdir mempertemukan gue dengannya, gue akan bertanya.
            “Dion, apakah kau mengingatku?”
            The End.



Baca Selengkapnya ....

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .