Review Antologi Mengejar Angin Kategori Mahasiswa

Posted by Unknown Agustus 13, 2014 3 komentar
    

            Akhirnya janji untuk membuat riview Antologi Mengejar Angin kategori mahasiswa dapat kupenuhi. Oh, ya, dibandingkan dengan cerpen kategori pelajar, cerpen-cerpen kategori mahasiswa lebih bervariasi. Baik cara bercerita, mempersepsikan tema kebebasan, maupun pesan moral yang ingin disampaikan.
            Cerpen kategori mahasiswa dibuka dengan cerpen berjudul Gerbong. Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini menurutku yang paling nyastra. Dan benar saja, setelah kubaca biodata penulisnya, Akbar Hari Mukti gemar banget makan tulisan Pram, Arswendo, Djenar, Joko Pinurbo, dan lainnya. Ngeri, yah! Cerpen ini bercerita tentang tokoh “Aku” dengan perempuan yang duduk di sebelahnya. Keduanya dipertemukan dalam  sebuah gerbong. Berkat ruang dan waktu, keduanya akhirnya saling berbicara dan mengungkapkan tujuannya naik kereta. Menurutku, cerpen Gerbong memiliki karakteristik yang sama dengan cerpen koran Kompas karena pada saat aku usai membacanya aku bisa merasakan banyak tanda tanya bermunculan di atas kepalaku. Lantas, aku pun mengubah posisi duduk dengan kedua mata menatap ke atas. Aku ingin merenung.
            Usai merenungi cerpen Gerbong, aku berpindah ke cerpen selanjutnya yakni Biji-Biji Martani yang ditulis oleh Pandan Bara. Aku suka ide ceritanya, unik. Tidak pernah terpikirkan kalau seandainya biji-biji yang dikumpulkan oleh Martani itu digunakan untuk menjawab rasa penasaran dari si tokoh. Di cerpen ini, si Martani yang punya kebiasaan “nyeleneh” sepertinya tidak tanpa sebab. Yapp, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benar tidak? Cerpen ini, menurutku konservasi banget. Mengajarkan pembacanya untuk lebih menghargai alam beserta isinya yang diciptakan oleh Tuhan dengan sangat sempurna. Buktinya, tumbuh-tumbuhan saja berdzikir dengan cara menjalankan sunatullah tanpa mengeluh setiap waktu sampai tiba masanya untuk berhenti. Percakapan Pak Ainun dengan Martani menjadi bagian yang paling kusuka di cerpen ini. Meski begitu, aku kurang suka dengan ending-nya yang menurutku biasa saja.
            Benang Bahorok yang ditulis oleh Ambar Lusiyono, mahasiswa tuan rumah ini benar-benar istimewa. Sekilas aku membaca judulnya, muncul pikiran bahwa cerpen ini bakalan kayak cerpen pertama. Nyatanya, aku salah. Cerpen ini benar-benar Mak Jlep-Jlep-lah pokoknya. Puk-puk deh buat tokoh “Kamu” atau Kun yang akhirnya memutuskan benang “cintanya” ke tokoh “Aku”. Aishh, ini cerpen benar-benar bikin hatiku kretek-kretek karena penulis pintar banget bikin analogi cinta dari angin dan layang-layang bergambar Power Ranger. Kekurangan dari cerpen ini menurutku terletak pada tokoh “Aku” yang penggambarannya kurang konsisten. Di tengah-tengah cerpen tokoh “Aku” sepertinya sudah dibuat menyukai tokoh ‘Kamu”. Di salah satu narasinya ditulis “....Senyummu datang, mendadak bintang jadi redup.” *Gila, bintang saja kala bersinar sama giginya Kun, ini pakai pasta gigi merk apa, ya #abaikan yang ini. Eh, malah mendekati ending, tokoh “Aku” mencap dirinya jalang karena belum move on dari mantannya, Nino.
            Elnina Zee menulis cerpen dengan judul yang hampir mirip dengan cerpenku. Kalau aku judulnya Melukis Senyum, sedangkan punyanya Nina berjudul Melukis Langit Ibu. Cerpen ini menceritakan seorang anak kecil, Alif, yang punya impian untuk dapat menemui ibunya.  Rada klise sih pas bagian Alif di-bully oleh ayahnya yang tukang mabok. Dua sudut pandang yang digunakan yakni munculnya tokoh “Aku” juga sempat membuat aku terkecoh. Aku kira tokoh “Aku” manusia dan di akhir cerita bakal dituliskan bahwa tokoh “Aku” adalah ibu Alif, eh, tenyata aku salah. Tokoh “Aku” adalah malaikat yang pada akhirnya menjadi saksi dari kematian Alif dan ibunya. Dan ini berhasil menolong cerita yang idenya biasa menjadi tidak terduga di ending-nya.
            Meski dipenuhi dengan local wisdom Pulau Dewata, cerpen Anginku Apa atau Siapa karya Evnaya Sofia mengalir dengan datar dan hambar. Mba Evi yang sepertinya ingin menonjolkan budaya banget, malah  kelupaan untuk mengeksplor ide utama yang sebenarnya bagus jika dikembangkan plus dipadukan dengan penguatan penggambaran  tokoh “Aku” dalam menghadapi dilema antara memilih agama yang diyakininya dengan suami yang amat dicintainya.  Ending yang dibuat menggantung karena pertanyaannya, juga kurang menyentak. Kurang bagus digunakan sebagai pamungkas. Meski begitu, aku tetap suka dengan beberapa detail budaya Bali yang kental dan itu menjadikanku pengen ke Bali. Oh, ya, saran gratis ini untuk penulisnya. Kayaknya akan lebih membuat penasaran apabila tidak semua unsur budaya Bali diberi catatan kaki. Kalau sudah diberi footnote semua, pembaca akan malas mencari tahu.
            Cerpen Mengejar Angin atau dalam bahasa Belandanya Achtervolgen Wind karya Flazia ini cakep punya dan memang layak menjadi jawara. Alur yang dibuat maju-mundur ini, berhasil membuatku penasaran. Okeh, kukira ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan Bayu kepada Windi, tetapi ternyata aku salah. Ini cerita sebuah cinta yang diungkapkannya telat.  Padahal kan dua-duanya saling punya rasa sejak kecil. Ada bagian yang menurutku kurang pas nih. Emang boleh yah, orang yang habis operasi mata langsung lari-larian? *pertanyaannya ini kutunjukan untuk penulisnya yang juga calon dokter. Kok kayaknya serem banget gitu. Ah terlepas dari semuanya, cerpen ini bikin nyes...pengorbanan Windi-nya itu loh yang nggak nahan. Salut deh, buat seseorang yang bisa mencintai dengan cara seperti itu.
            Dibuka dengan sebuah kata tabularasa, cerpen Penggali Pusara Angin yang ditulis oleh Risa Rii Leon membuatku berpikir. Kayaknya pernah denger tentang tabularasa dari seorang dosen yang mengajar Psikologi Pendidikan, tapi lupa artinya. Well, balik lagi ke review-nya. Tidak menyangka juga tokoh utamanya, Renan, memiliki persamaan dengan keseharianku sebagai seorang reporter. Yupps, rasanya dikejar deadline saat menulis berita tuh frustasi banget! *nunjuk layar yang masih kosong melompong. Cerpen ini ke luar jalur dari bayanganku. Kukira akan disuguhi cerita tentang perjuangan seorang reporter untuk mengalahkan deadline, eh, ternyata malah sebuah cerpen yang menurutku hampir menyerupai esai liris. Penulis kurang memasukkan tokoh dalam narasi penggambaran makna “bebas” dan itu berhasil membuat cerpen ini menjadi kaku meskipun tak hanya sekadar cerita yang didapat saat membacanya. Aku mendapatkan banyak pengetahuan dari satu cerpen ini.
             Disuguhi cerpen yang narasinya terlalu banyak, jujur di awal-awal membuatku bosan. Ya, itulah yang kurasakan saat membaca cerpen yang ditulis oleh Sifa Afidati yang berjudul Sayap Garuda. Kebosanan ini ditambah lagi dengan ada banyaknya tokoh “Aku” yang bercerita. Di bagian awal tokoh “Aku” pyur sebagai aku. Kemudian, tokoh “Tegar” yang menceritakan dirinya dengan menggunakan “Aku” juga. Alhasil, karena pendeskripsian “Aku” yang hampir sama untuk kedua tokoh utama menjadikan beberapa bagian dalam cerpen ini cacat logika (hal.115). Menggarap cerpen dengan model berpindah-pindah sudut pandang memang sering terjadi yang seperti itu, apalagi menggunakan sudut pandang pertama. Jatuhnya malah mencederai cerita dan membuat pembaca kebingungan  mengenali tokoh mana yang sedang bercerita. Well, tetapi aku senang dengan tokoh “Tegar” yang ternyata memiliki mimpi yang sama denganku, mendirikan sebuah taman baca. FYI, cerpen ini dicetak dobel. Semoga saja penulisnya selalu mendapatkan rejeki yang dobel. Amin.
           
            Menurutku, judul Mamak Mimpiku Tak Hanya Angin kurang menarik untuk dijadikan judul sebuah cerpen. Kurang menjual gitu. Tetapi, nggak papa juga sih kalau misalnya Arrum, penulisnya, enjoy menggunakan judul semacam ini. Kalau aku sih memang kurang nyaman. Cerpen ini panjang dan menurutku membosankan. Cerita digali dari ide yang sudah biasa tentang si tokoh utama Riani yang memperjuangkan mimpi berkat dukungan dari seorang inspirator handal, Mamaknya. Cerita Riani untuk mimpinya dan mengejar kebebasan datar saja. Itu mungkin juga disebabkan oleh alur yang maju terus, walaupun di awal sudah diberikan flasback.  Meski begitu, cerpen ini pada akhirnya dapat ditolong oleh kehadiran ending yang tidak tertebak. Yupps, ternyata Mamak Riani yang membesarkan Riani dengan begitu gigihnya memiliki kekurangan yakni tidak bisa melihat. Ah, itu membuatku merinding. Seorang ibu memang luar biasa. Bisa-bisanya gitu melakukan hal-hal yang bahkan tidak terpikirkan untuk anak-anaknya. *Untuk ibuku yang ada di Brebes, telah kusampaikan salam rinduku lewat angin, nih. Jangan lupa dibalas dengan peluk dan cium. #Pengen  Nangis.
            Cerpen terakhir merupakan karyak, *Bagian ini nggak ada yang nanya, merupakan cerpen yang kukira nggak bakal lolos. Eh, ternyata lolos. Alhamdulilah ya, sesuatu. Melukis Senyum merupakan cerpen yang mengambil  empat seting yang berbeda. Gunung Bromo, Yogyakarta, dan Wonosobo merupakan tempat yang sudah kukunjungi dan memiliki jutaan kenangan di long term memoriku, sedangkan Jepang merupakan negara yang pengin kudatangi.
            Cerpen ini kupersembahkan untuk Pimpinan Redaksiku, Mba Dewi Maghfiroh yang telah memberikan izin untuk liputan di Bromo. Benar-benar menakjubkan! Tokoh Arendo juga merupakan tokoh imajiner untuk sosok Yoda, seseorang yang kutemui di Balaidesa Ngadisari.
            Well, membaca sembilan cerpen kategori mahasiswa memperkaya ilmuku  tentang ragam teknik penulisan cerpen. Benang merah yang bisa kuambil dari keseluruhan cerpen dalam antologi  Mengejar Angin adalah bahwa angin adalah tetap angin. Makna itu tidak akan pernah berubah sepanjang tidak ada usaha untuk mengejarnya. Sekali lagi, aku benar-benar bangga berada di antara sekian nama dalam antologi ini…*bentar ambil tisu. Dan, kuucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada panitia penyelenggara, Mas Kury Yusuf dan kawan-kawan dari Bengkel Seni Universitas Tidar Magelang yang kabar gembiranya sudah diekstrakkan menjadi perguruan tinggi negeri. Berkat event ini, sebuah tali silatuhrahmi yang semoga tetap mengikat sepanjang waktu bernama Pasukan Dandelion tercipta. Semoga kita selalu dilimpahi berkat dari Allah Swt. agar selalu istiqomah dalam berkarya di jalur literasi. Amin, ya Allah. The lastaku memilih cerpen Benang Bahorok sebagai cerpen favoritku.
Antologi Mengejar Angin dipadukan dengan setoblok getuk goreng asli Magelang

Pasukan Dandelion


           
Semarang, 14 Agustus 2014

Ditulis bertepatan dengan Hari Pramuka oleh seorang prajurit dandelion di sebuah kos yang masih sepi penghuni.  
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Review Antologi Mengejar Angin Kategori Mahasiswa
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2014/08/review-antologi-mengejar-angin-kategori_93.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

3 komentar:

Fildzah Izzazi Achmadi mengatakan...

susiii, makasih yaa uda nulis review. hehe. aku jadi senyum2 sndri waktu km kritik bagian si bayu lari2 abis operasi. ini jangan ditiru ya para masyarakat. seharusnya ga boleh, tapi krn bayu maksa pengen ketemu windi, jadi ya ga ada yg bisa halangin dia walaupun nasihat medis ga ngijinin :p. Makasih ya susi udah jeli banget bacanya. lain kali aku ga bkl lg deh bikin cerita yg ga mendidik pasien, yg kemarin itu khilaf. haha. jd merasa bersalah ><
salam ya buat Arendo ganteng *plaak!

Unknown mengatakan...

Iya sama-sama Mba Flazia...meskipun begitu aku tetep suka ceritanya...Lain kali jangan sampai khilaf ya, Mba...Dan untuk Arendo, udah aku salamin....lewat angin

Akbar Hari Moe mengatakan...

wah maturnuwun sudah dibuatken reviewnya.. analisa yang cermat, good job ! salam pasukan dandelion ya! (khusus aku dan Pandan Bara, pasukan kecubung!)

Posting Komentar

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .