Review Novel Amina Part 1

Posted by Unknown Agustus 12, 2014 0 komentar
       

          Tentu saja, setiap perempuan yang berumur 20-tahunan, paling tidak seperti aku. Seorang mahasiswa, jomblo, aktif dalam bidang jurnalistik, akan memiliki satu pemikiran yang sama tentang hidup ini. Bahwa hidup lebih menyenangkan jika tidak hanya diam, melainkan terus bergerak agar tidak bosan dan mudah jenuh. Okeh, tulisan ini juga terinspirasi atas meninggalnya aktor Holywood, Robin Wiliams. RIP buatnya. Moga saja meskipun bunuh diri menjadi sebuah pilihan, ia dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Tuhan.
            Barangkali ketika aku bosan, ada tiga alternatif pilihan untuk menghilangkannya. Traveling, menjadi pilihan paling ampuh. Obat mujarab  yang tidak tertandingi di dunia. Tetapi sayangnya pepatah lama mengatakan “Ada Uang Ada Barang” berlaku untuk alternatif yang satu ini. Ya, anggap saja aku tidak dapat meluangkan banyak uang, sehingga terkadang traveling menjadi opsi terakhir.
            Alternatif kedua adalah membaca buku. Aku suka teenlit, ya itu karena ringan banget buat dibaca. Ampuh juga buat jadi hiburan yang murah meriah. Nah, alternatif ketiga lah yang paling kugemari untuk kulakukan. Nonton film Korea. Sejak demam Korea masuk sekitar tahun 2000, aku salah satu yang terjangkit oleh virusnya. Bayangkan saja dalam sehari, aku bisa menghabiskan satu drama Korea yang lumrahnya terdiri atas 16-20 episode. Drama Korea memang benar-benar virus yang luar biasa, paling tidak bagiku.
            Aku tak ingat, berapa banyak drama Korea yang sudah kutonton. Jika kusebutkan satu per satu mungkin aku tak bisa. Bukan karena apa-apa. Kesulitan dalam diriku yang hingga tulisan ini selesai dibuat salah satunya adalah kesulitan untuk menghafal nama, judul, bahkan warna angkot. *untuk yang terakhir, memiliki kenangan tersendiri karena berakibat aku diturunkan di tengah jalan dan ditertawakan oleh anak  anak Sma.
            Kujelaskan lagi, anggaplah untuk kali ini aku tidak memperdebatkannya. Di sini, hanya akan kutuliskan pengalamanku berdasarkan kisah nyata (True Story). Jadi begini, Selasa (12/8) aku membaca sebuah novel Amina karya Muhammed Umar, pengarang asal Nigeria. Novel milik teman yang kupinjem dan sudah dua bulan ini berada di kardus. Penasaran, karena inget beberapa teman yang telah membacanya memberikan komentar yang bagus-bagus. Di antara beberapa tumpukan buku yang plastiknya saja masih ada, aku memilih Amina yang berpenampakan kumal, bau, dan tidak sedap dipandang mata.
            Lembar demi lembar novel ini kubaca. Biasa, sebagai seseorang yang punya mimpi untuk jadi penulis novel, dilembar pertama aku membacanya dengan teliti. Ya, aku amati diksi, gaya bercerita, cara menyusun alur, dan juga cara menyampaikan pesan moral lewat narasi dan dialognya. Menarik dan mudah dipahami itu hipotesaku sementara. Ya, untuk novel terjemahan Amina memiliki keunggulan sendiri. Aku pernah membaca novel terjemahan yang berjudul Mengapa Tuhan Tertawa. Dari judulnya saja sudah bikin penasaran apalagi isinya, pikirku. Mantap! Tetapi tidak dalam kenyataan. Novel ini telah membuat aku hilang selera untuk membaca, bahkan untuk sampai ke lembar ke sepuluh. Alasannya karena bahasanya njlimet dan susah dipahami olehku yang saat itu masih duduk di bangku Sma kelas dua. Barangkali jika ada waktu aku akan mulai membaca lagi novel itu.
            Memasuki lembar selanjut dan selanjutnya, Amina semakin membuatku tercengang. Saat menulis ini, aku baru sampai di halaman 79. Ada beberapa hal yang membuatku terhenyak dan sempat menahan napas karena tidak menyangka. Umar dapat menuliskan novel dari bahan yang begitu pelik di dunia ini. Bahan yang yang membuatku ogah mempelajari padahal aku kuliah ambil jurusan itu. Yupps,  bahan dari Amina adalah masalah politik, gender, pembagian kelas, dan kapitalisme di negara-negara dunia ketiga yang terletak di benua Hitam, Afrika.
             Di bagian awal tulisan ini, aku membuat beberapa opsi tentang bagaimana caraku menghilangkan kebosanan. Tentu saja, dengan beberapa kondisi yang memengaruhinya. Di Amina, ternyata menemukan hal yang sedikit mirip. Salah satu tokohnya, Fatima yang digambarkan sebagai seorang wanita yang memiliki pemikiran progresif, peduli terhadap masyarakat khususnya nasib perempuan, dan menentang kapitalisme ala Barat.
            Fatima adalah sosok yang tidak kumengerti dalam novel ini. Biasanya seorang perempuan menyukai hidup mewah, memiliki suami kaya raya, hidup dengan nyaman, dan juga tidak suka berdiskusi. Tetapi di novel ini, Fatima digambarkan sebagai sosok yang berbeda. Dia memilih bercerai dengan suaminya yang kaya hanya karena ia tidak bisa berkompromi dengan prinsip-prinsipnya. Ah, sedikit liar, bukan? Sepengetahuanku, bukankah seorang perempuan surganya dekat sekali dengan suaminya. Fatima, dalam sikap yang  begitu tegas karena suaminya termasuk dalam golongan “Kelas Borjuis” tidak menerima semua kenyamanan yang didapatkannya.
            Fatima, janda yang berpikiran cerdas itu pun tak tanggung-tanggung dalam berpikir ia mendebat seorang Kapitalis bernama Bature. Di Bab lima, dituliskan saat Bature menawarkannya untuk mencoba seorang Kapitalis, beginilah jawaban Fatima.
            “Kuakui Anda memang kuat. Tapi tidak berarti aku akan bergabung denganmu. Aku punya misi, dan satu hal yang tak akan pernah kulakukan adalah berkompromi atas prinsip-prinsipku. Aku lebih suka minum air putih dan tidur dengan harga diri yang utuh daripada makan kaviar tapi jadi pelayan kapitalisme.” (hal. 58)
           
            Bersambung...

            *Ah, ya satu hal yang tidak bisa kumengerti lagi dari Fatima, ia sangat suka    berdiskusi. Menggilai malah. Bayangkan jika Fatima adalah aku? Pasti cerita tentang  Fatima akan berakhir di halaman awal-awal.
                       
            *Tulisan ini kupersembahkan untuk seorang teman, aku berkata padanya akan        memulai nulis lagi di blog. Ini adalah tulisan pertama yang kubuat setelah sekian bulan vakum.
           
            *Terimakasih juga buat Misbah A. Nurdi yang telah menyarankan novel ini    buatku. Novel ini memiliki hal semacam mantra sepertinya. Baru sampai halaman 79 saja,       aku tidak sabar untuk menuliskan tentang reviewnya.       Meskipun tidak lengkap.

            
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Review Novel Amina Part 1
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2014/08/review-novel-amina-part-1.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .