LGBT: Rancangan Gerakan Menyimpang Besar-Besaran

Posted by Unknown Maret 03, 2016 0 komentar
Tahukah kalian mengapa warna Pelangi diidentiikan dengan LGBT? Sumber: www.google.com

Beberapa waktu yang lalu, tentu aku dan kamu masih ingat – barang kali juga masih lekat dan terus terngiang-ngiang tentang berbagai macam perdebatan mengenai status halal brand hijab kenamaan. Hijab yang dimaknai sebagai sesuatu yang membatasi diri orang lain – dalam konteks ini kita lagi bahas hijab yang dikenakan oleh wanita untuk membatasi auratya agar tak terlihat oleh orang yang tak seharusnya, lazimlah di Indonesia disebut dengan kerudung, jilbab, tapi tentu bukan jillboobs, dengan pongah dijadikan komoditas untuk berbisnis, beberapa pihak mengatakan begitu. Pihak lain, tak kalah getol berasumsi kalau urusan jilbab saja sudah diberi cap-cap ‘menye-menye’ – halal atau tidak, maka bagaimana dengan urusan sempak yang notabene-nya lebih digunakan untuk membatasi urusan yang urgen, melahirkan generasi penerus. Wah, tentu sempak itu haruslah diberikan label ‘halal’ bahkan sejak dalam proses pembuatan, agar tetap barokah urusan beranak-pinak itu.
Memberi label atau dilabeli adalah perkara yang memang sering dilakukan oleh manusia di era pemanfaatan jejaring sosial yang kian gencar. Dalam sebuah dinding yang diciptakan Mark itu, mudah sekali pemilik akun mengkotak-kotakan individu atau sekelompok orang sesuai dengan paradigma yang jadi junjungannya. Nah, berhubung, aku adalah kaum jomblo tur ikut-ikutan menye, perkara melabeli dan dilabeli, juga kerap digunakan untuk membahas perdebatan-perdebatan lain yang berkelindan di jejaring sosial, termasuk LBGT. 
Beberapa waktu lalu, bukan tanpa sebab aku meng-share status seseorang, yang bisa kubilang adalah guru ‘tak kasat mata’ dalam paradigma yang kuanut. Bolehlah, ketika kamu melabeli aku sebagai jomblo dengan pemikiran dangkal nan cerobah – tetapi plis, untuk guruku, aku tahu belio itu pemikir yang hebat dan bijak – tidak mungkin dangkal berpikir dan hanya mengacu pada kerangka emosi untu membuat tulisan yang provokatif agar setiap insan menolak LGBT, maka biarkan pandanganku yang kemudian akan kubicarakan di sini – terlepas dari pandangan guruku itu. Karena seperti kusebutkan tadi, apalah dayaku seorang jomblo sejak beberapa tahun silam ini memang selalu dan serta merta menjadikan agama sebagai dalil dalam pemberian respon. Agama menurut kaum jomblo terpinggirkan sepertiku, ibarat oase di tengahnya gersangnya menunggu jodoh yang tak kunjung datang. Berangkat dari point of view inilah, pemilihan judul menye berlabel “Aku: Jomblo Syar’i yang Menolak LGBT”, kuangkat ke permukaan. 
Nah, ke depan bolehlah kusebut LGBT sebagai tindakan sosial, karena itu berkaitan dengan uraian panjang sampai tumpah-tumpah terkait pandanganku dengan LGBT menanggapi pertanyaan kamu, “kalau menurutmu, pilihan ‘tidak mendukung sekaligus tidak membenci LGBT itu bagaimana?” Kalau dalam jurnalistik, wahai PU – ku yang terhormat, pertanyaan ‘bagaimana” memerlukan reportase yang lumayan dalam, deep, kalau di perkuliahan barang kali bisa lebih dari dua sks. Tetapi, karena besok aku ada jadwal ngisi talkshow novel pertamaku‪#‎EternalFlame‬ di Jakarta, kukebut pertanyaan kamu dengan selanyang pandang saja. 
LGBT sesuai dengan asumsiku adalah tindakan sosial seseorang yang kuprediksi akan menjadi gerakan sosial besar-besaran di dunia yang makin mblesak ini, jikalau saja tidak segera dibendung atau dihentikan. Kerangka acuan yang kamu berikan bahwa LBGT alangkah bijak jika tidak dilihat dari sisi agama dan emosi sesaat saja merupakan anutan cara berpikirnya George Homans melalui mazab “pertukaran sosialnya”. Bung Homans ini baru benar-benar puas kalau melihat suatu tindakan sosial dijelaskan dan didasarkan pada ranah psikologi, yang diturunkan dari kenyataan-kenyataan tentang keberadaan manusia sebagai makhluk yang bersifat individual. Lebih jauh lagi, Bung Homans yang sangat mendetail ini, berasumsi dalam suatu kelompok nonformal, anggota-anggotanya dapat memberikan persetujuan sosial atas tingkah laku yang sesuai dengan persetujuan-persetujuan dan dengan harapan-harapan teman-temannya, sebagai upaya mendapat persetujuan dan pengakuan. Bung Homans dalam konteks ini, seseorang yang mengidap sekte LGBT lantaran penyakit sebelum mendapat persetujuan dari anggota kelompoknya terlebih dahulu dia punya motif, punya asumsi agar ketika dia tampil dia sudah disetujui oleh kelompok-kelompoknya. Cara pandang seperti ini oleh Bung Blumer – iki sopo meneh? – adalah bentuk pengingkaran terhadap faktor yang mendahului LGBT itu, sebuah penyakit itu sendiri, terlebih penyakit itu memiliki dua dimensi, dibiarkan atau disembuhkan. Pembiaran-pembiaran terhadap penyakit LGBT dengan ajakan untuk merangkul, menyelami, dan memahami secara bijak untuk terlebih dahulu tahu apa sebab dia memiliki penyakit itu – adalah memberi rujukan pasif terhadap segala tindakan kaum pengidap LGBT itu, bahkan adalah sebuah kealpaan jika melihat para penganut sekte itu hanya sebagai objek pasif yang hanya butuh dimengeri dan dipahami – itu hanya dimungkinkan dapat terjadi kalau bertemu secara face to face, orang per orang, kelompok kecil per kelompok kecil – sekup pemikiran kamu yang bersengkongkol dengan Bung Homans, yang baru merasa puas apabila dikaji dari psikologi hanya dapat digunakan untuk kelompok non-formal kecil-kecilan dan hanya menjangkau partikelir-partikelir di sekelilingmu – bukan untuk institusi-institusi sosial yang besar seperti masyarakat di suatu negara atau dunia. Dan aku, yang masih berpegang teguh pada dalil agama, tentu meminimalkan penggunaan ranah psikologi untuk menghentikan beredarnya sekte LGBT yang jumlahnya kian hari kian banyak, semakin menglobal, karena lambat dalam penanganannya. Apalagi semakin diketahui jumlah penganut LGBT semakin berkembang dan akan menjadi semacam gerakan sosial besar-besaran. 
Maka, Bung Irham yang kalau lagi senyum manis banget, aku yang melabeli diri sebagai jomblo syar’i tidak akan memberikan kompromi terhadap sekte LGBT. Aku tidak akan berada di tengah-tengah antara tidak mendukung sekaligus tidak membenci. Secara tegas, seperti apa yang kuyakini dalam agama yang kupercaya, LBGT adalah tindakan yang harus ditolak dan dihentikan peredarannya di semesta ini. Dan tindakan dengan ranah psikologi yang menurutku tahap demi tahap, alon-alon asal kelakon, maka selak jomblo-jomblo yang daya tangkal dan daya lanting terhadap isu ini akan terperdaya semua. Menyerah semua dan memutuskan untuk ikut sekte LGBT. Maka, alangkah lebih kongkretnya apabila LGBT dimentalkan dengan agama, biar sekali penyembuhan, sekali penghentian. 
Bung Irham, sebenarnya aku mau nulis lebih panjang lagi – argumen-argumen penguatan atas dasar agama sebagai pranata sosial di masyarakat yang dapat digunakan sebagai obat mujarab melawan penyakit LGBT, kemudian kerangka asumsi dari Bung Blumer dan Bung Mead yang kupikir sangat cemerlang untuk menjawab kegelisahan aku dan kamu tentang LGBT juga akan menarik kalau ditulis. Aku terhenyak beberapa saat tatkala membaca argumentasi mereka. Tetapi, berhubung aku mau mandi, mau sampoan juga, biarlah tulisan ini kubiarkan prematur “sudah netas sebelum waktunya” dan nanti sepulangnya dari Jakarta aku bisa menuliskan lebih banyak lagi, itu masih berupa harapan. Kadang kan das sein tidak seperti das sollen. 
Oh, ya, karena tulisan ini berawal dari pertanyaan, kusudahi juga dengan pertanyaan. Biar cover boat side, nggih, Bung Irham. 
Bung Homans membangun beberapa proposisi perilaku manusia, proposisi tesebut di antaranya proposisi keberhasilan. Bunyi proposisi itu adalah, “Dalam segala hal yang dilakukan oleh seseorang, semakin sering sesuatu tindakan mendapat ganjaran (mendatangkan respon yang positif dari orang lain), maka akan semakin sering pula tindakan dilakukan oleh orang yang bersangkutan. 
Setujukah, kamu dengan proposisi tersebut PU – yang paling kusayangi sebagai rekan diskusi - dalam menanggapi LGBT?

Tulisan ini dipersembakan untuk Irham, sebagai jawaban atas pertanyaannya
Ditulis, ketika penulis sedang packing untuk persiapan ngisi talkshow novel perdananya, #EternalFlame. 
dari Susi Lestari yang masih terus semangat berpromosi agar bisa cetak kedua. Amin.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: LGBT: Rancangan Gerakan Menyimpang Besar-Besaran
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2016/03/lgbt-rancangan-gerakan-menyimpang-besar.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .