Dee Lestari, Aku Patah Hati
Maret 03, 2016
0
komentar
Sudah kuhabiskan hampir separuh dari gaji bulananku, untuk membeli episode terakhir dari bukumu, Dee Lestari, Supernova – Intelegensi Embun Pagi (IEP). Untungnya bertanda tangan, jadi paling tidak aku memiliki bekas guratan penamu, Dee. Aku sama sekali tak menyesali, meski paling tidak harus beberapa hari nambah kuota puasa di bulan Maret dan sedikit prihatin memilih lauk makan. Dan bukan untuk bukumu saja. Kamu tahu, Maret baru menyentuh angka 3, dan aku sudah membeli sekitar 15 buku. Itu pembelian terbanyak sepanjang aku hidup. Dalam tiga hari.
Dee,
aku tidak tahu apa yang sudah kamu alami di dalam hidupmu yang belum tua-tua
amat. Pengalaman-pengalaman seperti apa yang bisa membuatmu secermelang itu,
imaji-imaji seberapa liar yang kamu tumbuh-kembangan dalam tempurung kepalamu
yang hanya segenggaman tangan itu dan kaum harus tahu! Kamu menjadi salah satu
penulis, yang membikin pembaca karyamu - lupa makan, lupa tidur, lupa skripsi,
ya, beberapa lupa, baru ingat setelah menggenapkan semua tulisanmu sampai ke
pucuk-pucuknya, tetapi tenang, Tuhan masih bersamaku. Dan aku belum lupa.
Di
bukumu, IEP, ada satu yang paling menggelitik bulu kuduk, sampai remang aku
membacainya. Pas bagian Elektra menelfon Watti. Itu, loh, yang pas di Surga, kamu lihat Tuhan yang mana? Apakah
itu menjadi salah satu pertanyaan dalam hidupmu juga?
Ampun.
Bergidik, aku melalafkan pertanyaan itu. Tetapi itulah, bukan Dee namanya kalau
dalam setiap lembaran tulisannya tidak membuatku haru, tangis, kaget, bahagia,
terkejut, dan perasaan-perasaan lain yang barangkali tidak bisa kuungkap dengan
bahasa, seperti yang kamu katakan, ada dimensi lain yang tidak bisa dijelaskan
dengan kode-kode lingustik. Bahasa tidak sanggup menampung itu semua.
Tuntas
sudah semua seri Supernova kubacai – tentu saja, menjadi seri yang bersejarah
di hidupku, yang kutempatkan sejajar dengan Tetralogi Buru, Harry Potter, dan
Ronggeng Dukuh Paruk, keempat-empatnya punya tempat tersendiri di sini, hatiku.
Hanya saja, usai menuntaskannya, aku ingin kamu tahu, Dee.
Sebagai
penikmat karya kamu, aku harus dipaksa untuk merasakan patah hati, lagi dan
lagi, di saat-saat menyentuh lembar terakhir dari buku yang kamu buat hampir 15
tahun itu. Dee, aku, iki, loh, cuma baca. Tapi, patah hatinya tidak tahu sampai
kapan akan sembuh, kempes, terus bangkit, lantas gimana dengan kamu?
Aku
tidak bisa bayangin. Pasti sakit sekali. Merasa kehilangan, tetapi tidak tahu
apa yang hilang. Mereka hanya rekaan.
Oh,
ya, terakhir ini. Salam, ya, buat Mas Bodhi. Kalau yang peretas lainnya kamu
buat berpasang-pasangan, kurasa membuat Mas Akar sendirian adalah pilihan
kejam, Dee. Padahal di gugus lain, masih ada aku. Masih full, belum parttime.
Kalau
kamu kasih ijin, Dee, boleh, ya, Mas Bodhi nemenin sebentar di kosku. Ya,
lumayan buat penglipur kalau ada coretan merah-merah dari Dosen yang kadang
bikin ruwet mood atau buat apalah ngancani
makan di Penyetan. Dipinjemin gitu barang sebentar, tak apa. Sebelum Mas Bodhi
menuntaskan misinya melindungi Peretas Puncak, ijikan dia singgah sebentar di
kosku, sampai Juli, paling tidak. Aku tidak muluk-muluk banget, Mas Gio, Mas
Alfa (alm), Mas Toni, apalagi Bang Ferre, biar hidup di sisimu, satu buatku, tidak
apa-apa, kan?
Ya?
Oh,
ya, ini aku tulus banget. Untuk kamu, Dee, semoga selalu sehat di mana pun
berada. Semoga nama belakang kita yang sama ‘Lestari’ mampu menjadi pendorongku
untuk bisa berkarya sehebat karyamu. Selamat vakum sebentar, sebelum kembali
menulis lagi, Dee.
Salam,
SL
(Not Superlove) – Just, Susi Lestari
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Dee Lestari, Aku Patah Hati
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2016/03/dee-lestari-aku-patah-hati.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar