Jangan Jadi Guru Les Privat, Mumet!

Posted by Unknown Maret 03, 2016 0 komentar


Hampir 4 tahun saya kuliah di Semarang. Saat ini sedang “asyik” ngublek-ngublek pustaka bab 2 proposal skripsi. Di antara waktu saya kuliah, hampir semua lini pekerjaan partime pernah saya geluti. Dari mulai jadi event organizer, peng-garnis di wedding party, tukang pijet, jualan, distributor buku, bantu penelitian dosen, pembina pramuka, magang di Alfama*t, penulis artikel lepas, reporter di media massa, sampai yang paling anyar jadi guru les privat. Pekerjaan yang paling akhir disebut, saya anggap sebagai pekerjaan dengan genre paling keras dan paling menguras otak. 
Tepatnya setelah resign dari Alfama*t, saya memutuskan jadi guru les. Bukan tanpa sebab sih. Sebabnya bayak; menjadi guru adalah prospek paling tepat dan benar setelah lulus dari prodi PPKn Unnes, nyari duit, dan kali saja dapat pencerahan. Dua sebab yang pertama, okelah saya terima setelah hampir setengah tahun ini saya jalani kerjaan jadi guru les privat, tetapi untuk sebab yang ketiga saya pikir ulang. Saya tidak dapat pencerahan dalam aktivitas saya menjadi guru les privat, malah yang saya dapatkan setiap hari setelah mengajar hanya tiga hal; kemumetan, kemumetan, dan kemumetan (mumet akar3) – mumet dalam bahasa Ngapak artinya pusing. 
Jadi guru les privat itu memang bergaji, meski sedikit. Lumayanlah buat tabungan beli kuota internet tree yang 4G-an. Dapat pengalaman iya. Tapi, kalau mau bener-bener diseriusi, bakalan mumet. Sama seperti yang saya alami. 
Saya tipikal guru les privat yang komit mengajar privat hanya 1 dan maksimal 2 orang saja. Berhubung dulu saya dari jurusan IPA SMA-nya, dan pas kuliah malah milih Fakultas Sosial, saya pilih aman saja. Ngelesi anak SD. 
Murid pertama saya, Abell. Siswa kelas IV SD. Kali pertama saya ngajar, sudah jatuh cinta. Anaknya luar biasa. Ndak rewel, ndak ingusan, ndak macem-macem, dan pokoknya ideal banget jadi adik laki-laki saya, haha (kalau ini saya yang ngarep). Sudah hampir setengah tahun saya jadi guru les Abell. 
Januari lalu, setelah merampungkan perhelatan akbar macam PPL dan KKN, saya memutuskan ambil satu lagi murid. Tetap anak SD. Fardhan namanya. Murid kelas 1 SD. Rumahnya di Daerah Ngijo, lumayan dekat kampus, kali pertama ditawari HRD, saya langsung deal. Jadilah selama 4 hari dalam seminggu, saya bolak balik ngajar dua anak ini. 
Ada satu hal yang memang menjadi faktor utama mengapa Anda jangan sekali-kali mencoba-coba jadi guru les privat. Setiap anak selalu membawa pertanyaan masing-masing, yang bagi saya pertanyaan itu bukan pertanyaan biasa. Mereka bertanya tentang hakikat hidup paling sederhana tapi bermuatan filosofis ektra-besar: pertanyaan untuk mengenal Pencipta (Tuhan) dan untuk memahami sesama (Manusia). 
Dari murid kelas 1 SD saya mendapat pertanyaan demikian menyentak. 
“Allah itu ada, Bu?” 
Saya lirik-lirik tivi. Mikir sebentar, kok Fardhan tiba-tiba nanya kayak gitu. “Iya. Ada,” kata saya pendek saja. 
“Berarti Allah dilahirkan, Bu? Kayak aku juga lahiran. Ibunya siapa, Bu, Allah itu? 
Ada cicak lewat di dinding. Saya pandangi. “Hemmm,...” saya mikir lumayan lama. 
Ya, saya kemudian menjawabnya dengan jawaban yang menurut saya maksimal. 
Hari berikutnya, pertanyaan “nyeleneh” itu datang lagi. 
“Bu, katanya Allah itu Maha Besar, berarti kayak raksasa dong?” 
Pukul 8 malam di tengah-tengah menahan terpaan kantuk luar biasa, saya harus menjelaskan tentang ke-Maha Besaran Allah kepada anak kelas 1 SD. Kalau di perkuliahan, bisa saya menjawab dengan argumentasi teologis mengenai konsep ke-Tuhan-an untuk membuktikan keberadaan Allah yang Maha Besar. Di teman-teman kuliah atau forum diskusi dengan sesama mahasiswa, mudah saja saya bilang begini: Allah dapat didefinisikan sebagai ‘sesuatu yang paling besar yang dapat dipikirkan’. Dinyatakan bahwa “ada” itu lebih besar dari “tidak ada”, karena itu keberadaannya yang paling besar tentu dan haruslah “ada”, tidak bisa dipungkiri. Kalau Allah tidak ada, maka Allah bukanlah keberadaan terbesar yang dapat dipikirkan. Memang mudah menjawab itu, tapi yang saya hadapi adalah anak kecil yang sedang membangun konsep ke-Tuhan-annya. Saya berpikir, kalau misal Fardhan mendefinisikan “paling besar” sebagai raksasa, maka itu adalah definisi yang bisa dia pahami untuk saat ini. Karenanya, saya jawab dengan amat sederhana pertanyaan “ngehek”nya. 
“Kalau Fardhan beranggapan raksasa adalah yang paling besar, maka sebesar itulah Allah bagi Fardhan.” 
Pada hari-hari selanjutnya, saya masih kerap ditanyai pertanyaan “nyeleneh” anak kecil. Sampai akhirnya saya men-justice diri saya, “Saya tidak pantas jadi guru les. Saya sudah tidak bisa menjawab pertanyaan anak kecil lagi.” Ada beberapa pertanyaan tentang Tuhan yang tidak bisa saya jawab, sampai saat ini. 
Pada diri Abell, saya jumpai pertanyaan “mumeti” serupa pertanyaan Fardhan. Abell yang sudah lumayan dekat dengan saya, memang kerap mempertanyaan hal-hal out of the box, di luar apa yang saya pikirkan dapat ditanyakan oleh anak seusianya. 
Pertanyaan “nyeleneh” Abell disampaikan bertepatan dengan Jakarta yang pada saat itu sedang di landa teror bom. 
“Kak, kenapa orang meledakkan dirinya dengan bom? Kalau misalnya dia adalah penjahat, mengapa tidak mencopet saja biar dapat uang. Kalau meng-ebom kan yang didapatkan hanya kematian. Kan rugi?” tanyanya usai ngaji iqro jilid 4 bareng saya. 
Haduh! Revisi skripsi saja masih di pelupuk mata pusingnya, dan dari Abell saya malah ditanyai pertanyaan yang, yah, pertanyaan macam apa itu, Bell? Menjawab pertanyaan Abell tentu tidak akan saya jelaskan kaitan bom bunuh diri dengan pengalihan isu Freeport, jihad fisabililah, atau penyebab inflasi. Dijelaskan dengan penggunaan kosakata seperti itu hanya akan membuat Abell makin sering bertanya. 
Anak kecil, meski pertanyaannya tidak sederhana seperti yang mereka pikir, mereka selalu menuntut jawaban sederhana yang dapat ditangkap oleh pemikiran mereka. Itu hukumnya. Dan saya sulit untuk tidak melanggar hukum itu. 
Saya bukanlah pencerita yang baik. Tidak dapat menceritakan sesuatu dengan kalimat sederhana. Institusi pendidikan yang saya berada di dalamnya, mengajarkan saya untuk lebih banyak menghafal, dibanding untuk dapat membuat konsep akan sesuatu dengan formulasi bahasa sendiri. Jadilah, saya orang paling pengecut, dengan menggunakan dalih sebagaimana layaknya guru yang belum mempersiapkan materi ketika mengajar. 
“Nanti kakak cari tahu jawabannya. Besok kakak jelasin, ya, Bell.” 
Gegas, ketika saya pulang. Saya mencari beberapa buku yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan Abell. Dalam proses pencariaan buku-buku itu, saya lebih banyak merenungnya. Dan inilah pesan moral yang ingin saya sampaikan. 
Kelak, ketika saya sudah punya anak. Tidak akan pernah saya bayar seorang guru les untuk mengajari anak saya. Saya takut, mereka (guru les privat) menjawab pertanyaan-pertanyaan anak saya dengan “ngawur” tidak berdasar, menyesatkan. Guru les privat itu banyak kan dari mahasiswa. Kalau urusan duit, memang tidak diragukan. Tetapi untuk menanggapi pertanyaan anak kecil, saya pikir masih kurang (termasuk saya, hehe). Kecuali, satu hal. Guru les itu berasal dari lembaga les privat yang akan saya dirikan (haha: kalau ini keinginan; bisa terwujud, bisa tidak). Niatnya, memang ingin mendirikan lembaga privat dengan penguatan karakter. 
So, curhat nggak jelas bin njlimet ini memang sengaja saya tulis panjang, biar tidak ada yang baca. Tetapi, kalau pun ada yang baca, berarti pikirannya sama “mumet”nya dengan saya. 
Jangan ngaku “mumet”, kalau belum baca tulisan ini.

Ditulis bertepatan dengan malam Minggu, 
oleh penulis yang tadinya mau nulis revisi skripsi, tetapi pindah haluan untuk nulis curhatan.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Jangan Jadi Guru Les Privat, Mumet!
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2016/03/jangan-jadi-guru-les-privat-mumet.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .