Akhirnya janji untuk membuat
riview Antologi Mengejar Angin kategori mahasiswa dapat kupenuhi. Oh, ya, dibandingkan
dengan cerpen kategori pelajar, cerpen-cerpen kategori mahasiswa lebih
bervariasi. Baik cara bercerita, mempersepsikan tema kebebasan, maupun pesan
moral yang ingin disampaikan.
Cerpen
kategori mahasiswa dibuka dengan cerpen berjudul Gerbong. Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini menurutku yang
paling nyastra. Dan benar saja, setelah kubaca biodata penulisnya, Akbar Hari
Mukti gemar banget makan tulisan Pram, Arswendo, Djenar, Joko Pinurbo, dan
lainnya. Ngeri, yah! Cerpen ini bercerita tentang tokoh “Aku” dengan perempuan
yang duduk di sebelahnya. Keduanya dipertemukan dalam sebuah gerbong. Berkat ruang dan waktu,
keduanya akhirnya saling berbicara dan mengungkapkan tujuannya naik kereta. Menurutku,
cerpen Gerbong memiliki karakteristik yang sama dengan cerpen koran Kompas
karena pada saat aku usai membacanya aku bisa merasakan banyak tanda tanya
bermunculan di atas kepalaku. Lantas, aku pun mengubah posisi duduk dengan
kedua mata menatap ke atas. Aku ingin merenung.
Usai
merenungi cerpen Gerbong, aku berpindah ke cerpen selanjutnya yakni Biji-Biji Martani yang ditulis oleh
Pandan Bara. Aku suka ide ceritanya, unik. Tidak pernah terpikirkan kalau
seandainya biji-biji yang dikumpulkan oleh Martani itu digunakan untuk menjawab
rasa penasaran dari si tokoh. Di cerpen ini, si Martani yang punya kebiasaan
“nyeleneh” sepertinya tidak tanpa sebab. Yapp, buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya. Benar tidak? Cerpen ini, menurutku konservasi banget. Mengajarkan
pembacanya untuk lebih menghargai alam beserta isinya yang diciptakan oleh
Tuhan dengan sangat sempurna. Buktinya, tumbuh-tumbuhan saja berdzikir dengan
cara menjalankan sunatullah tanpa
mengeluh setiap waktu sampai tiba masanya untuk berhenti. Percakapan Pak Ainun
dengan Martani menjadi bagian yang paling kusuka di cerpen ini. Meski begitu,
aku kurang suka dengan ending-nya yang menurutku biasa saja.
Benang Bahorok yang ditulis oleh Ambar
Lusiyono, mahasiswa tuan rumah ini benar-benar istimewa. Sekilas aku membaca
judulnya, muncul pikiran bahwa cerpen ini bakalan kayak cerpen pertama.
Nyatanya, aku salah. Cerpen ini benar-benar Mak Jlep-Jlep-lah pokoknya. Puk-puk
deh buat tokoh “Kamu” atau Kun yang akhirnya memutuskan benang “cintanya” ke
tokoh “Aku”. Aishh, ini cerpen benar-benar bikin hatiku kretek-kretek karena
penulis pintar banget bikin analogi cinta dari angin dan layang-layang
bergambar Power Ranger. Kekurangan dari cerpen ini menurutku terletak pada
tokoh “Aku” yang penggambarannya kurang konsisten. Di tengah-tengah cerpen
tokoh “Aku” sepertinya sudah dibuat menyukai tokoh ‘Kamu”. Di salah satu
narasinya ditulis “....Senyummu datang, mendadak bintang jadi redup.” *Gila,
bintang saja kala bersinar sama giginya Kun, ini pakai pasta gigi merk apa, ya
#abaikan yang ini. Eh, malah mendekati ending, tokoh “Aku” mencap dirinya
jalang karena belum move on dari
mantannya, Nino.
Elnina
Zee menulis cerpen dengan judul yang hampir mirip dengan cerpenku. Kalau aku
judulnya Melukis Senyum, sedangkan punyanya Nina berjudul Melukis Langit Ibu. Cerpen ini menceritakan seorang anak kecil, Alif,
yang punya impian untuk dapat menemui ibunya.
Rada klise sih pas bagian Alif di-bully
oleh ayahnya yang tukang mabok. Dua sudut pandang yang digunakan yakni
munculnya tokoh “Aku” juga sempat membuat aku terkecoh. Aku kira tokoh “Aku”
manusia dan di akhir cerita bakal dituliskan bahwa tokoh “Aku” adalah ibu Alif,
eh, tenyata aku salah. Tokoh “Aku” adalah malaikat yang pada akhirnya menjadi
saksi dari kematian Alif dan ibunya. Dan ini berhasil menolong cerita yang
idenya biasa menjadi tidak terduga di ending-nya.
Meski
dipenuhi dengan local wisdom Pulau
Dewata, cerpen Anginku Apa atau Siapa
karya Evnaya Sofia mengalir dengan datar dan hambar. Mba Evi yang sepertinya
ingin menonjolkan budaya banget, malah
kelupaan untuk mengeksplor ide utama yang sebenarnya bagus jika
dikembangkan plus dipadukan dengan
penguatan penggambaran tokoh “Aku” dalam
menghadapi dilema antara memilih agama yang diyakininya dengan suami yang amat
dicintainya. Ending yang dibuat
menggantung karena pertanyaannya, juga kurang menyentak. Kurang bagus digunakan
sebagai pamungkas. Meski begitu, aku tetap suka dengan beberapa detail budaya
Bali yang kental dan itu menjadikanku pengen ke Bali. Oh, ya, saran gratis ini
untuk penulisnya. Kayaknya akan lebih membuat penasaran apabila tidak semua
unsur budaya Bali diberi catatan kaki. Kalau sudah diberi footnote semua, pembaca akan malas mencari tahu.
Cerpen
Mengejar Angin atau dalam bahasa Belandanya Achtervolgen Wind karya Flazia ini cakep punya dan memang layak
menjadi jawara. Alur yang dibuat maju-mundur ini, berhasil membuatku penasaran.
Okeh, kukira ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan Bayu kepada Windi,
tetapi ternyata aku salah. Ini cerita sebuah cinta yang diungkapkannya
telat. Padahal kan dua-duanya saling punya
rasa sejak kecil. Ada bagian yang menurutku kurang pas nih. Emang boleh yah,
orang yang habis operasi mata langsung lari-larian? *pertanyaannya ini
kutunjukan untuk penulisnya yang juga calon dokter. Kok kayaknya serem banget
gitu. Ah terlepas dari semuanya, cerpen ini bikin nyes...pengorbanan Windi-nya
itu loh yang nggak nahan. Salut deh, buat seseorang yang bisa mencintai dengan
cara seperti itu.
Dibuka
dengan sebuah kata tabularasa, cerpen Penggali
Pusara Angin yang ditulis oleh Risa Rii Leon membuatku berpikir. Kayaknya
pernah denger tentang tabularasa dari seorang dosen yang mengajar Psikologi
Pendidikan, tapi lupa artinya. Well,
balik lagi ke review-nya. Tidak menyangka juga tokoh utamanya, Renan, memiliki
persamaan dengan keseharianku sebagai seorang reporter. Yupps, rasanya dikejar
deadline saat menulis berita tuh frustasi banget! *nunjuk layar yang masih
kosong melompong. Cerpen ini ke luar jalur dari bayanganku. Kukira akan disuguhi
cerita tentang perjuangan seorang reporter untuk mengalahkan deadline, eh,
ternyata malah sebuah cerpen yang menurutku hampir menyerupai esai liris.
Penulis kurang memasukkan tokoh dalam narasi penggambaran makna “bebas” dan itu
berhasil membuat cerpen ini menjadi kaku meskipun tak hanya sekadar cerita yang
didapat saat membacanya. Aku mendapatkan banyak pengetahuan dari satu cerpen
ini.
Disuguhi cerpen yang narasinya terlalu banyak,
jujur di awal-awal membuatku bosan. Ya, itulah yang kurasakan saat membaca
cerpen yang ditulis oleh Sifa Afidati yang berjudul Sayap Garuda. Kebosanan ini ditambah lagi dengan ada banyaknya
tokoh “Aku” yang bercerita. Di bagian awal tokoh “Aku” pyur sebagai aku.
Kemudian, tokoh “Tegar” yang menceritakan dirinya dengan menggunakan “Aku”
juga. Alhasil, karena pendeskripsian “Aku” yang hampir sama untuk kedua tokoh
utama menjadikan beberapa bagian dalam cerpen ini cacat logika (hal.115). Menggarap
cerpen dengan model berpindah-pindah sudut pandang memang sering terjadi yang
seperti itu, apalagi menggunakan sudut pandang pertama. Jatuhnya malah
mencederai cerita dan membuat pembaca kebingungan mengenali tokoh mana yang sedang bercerita. Well, tetapi aku
senang dengan tokoh “Tegar” yang ternyata memiliki mimpi yang sama denganku,
mendirikan sebuah taman baca. FYI, cerpen ini dicetak dobel. Semoga saja
penulisnya selalu mendapatkan rejeki yang dobel. Amin.
Menurutku, judul Mamak Mimpiku Tak Hanya Angin kurang
menarik untuk dijadikan judul
sebuah cerpen. Kurang menjual gitu. Tetapi, nggak papa juga sih kalau misalnya
Arrum, penulisnya, enjoy menggunakan
judul semacam ini. Kalau aku sih memang kurang nyaman. Cerpen ini panjang dan
menurutku membosankan. Cerita digali dari ide yang sudah biasa tentang si tokoh
utama Riani yang memperjuangkan mimpi berkat dukungan dari seorang inspirator
handal, Mamaknya.
Cerita Riani untuk mimpinya dan mengejar kebebasan datar saja. Itu mungkin juga
disebabkan oleh alur yang maju terus, walaupun di awal sudah diberikan flasback. Meski begitu, cerpen ini pada akhirnya dapat
ditolong oleh kehadiran ending yang tidak tertebak. Yupps, ternyata Mamak Riani
yang membesarkan Riani dengan begitu gigihnya memiliki kekurangan yakni tidak
bisa melihat. Ah, itu membuatku merinding. Seorang ibu memang luar biasa.
Bisa-bisanya gitu melakukan hal-hal yang bahkan tidak terpikirkan untuk
anak-anaknya. *Untuk ibuku yang ada di Brebes, telah kusampaikan salam rinduku
lewat angin, nih. Jangan lupa dibalas dengan peluk dan cium. #Pengen Nangis.
Cerpen terakhir merupakan karyak, *Bagian
ini nggak ada yang nanya, merupakan cerpen yang kukira nggak bakal lolos. Eh,
ternyata lolos. Alhamdulilah ya, sesuatu. Melukis
Senyum merupakan cerpen yang mengambil empat seting yang berbeda. Gunung
Bromo, Yogyakarta, dan Wonosobo merupakan tempat yang sudah kukunjungi dan
memiliki jutaan kenangan di long term
memoriku, sedangkan Jepang merupakan negara yang pengin kudatangi.
Cerpen ini kupersembahkan untuk
Pimpinan Redaksiku, Mba Dewi Maghfiroh yang telah memberikan izin untuk liputan
di Bromo. Benar-benar menakjubkan! Tokoh Arendo juga merupakan tokoh imajiner
untuk sosok Yoda, seseorang yang kutemui di Balaidesa Ngadisari.
Well,
membaca sembilan cerpen kategori mahasiswa memperkaya ilmuku tentang ragam teknik penulisan cerpen. Benang
merah yang bisa kuambil
dari keseluruhan cerpen dalam antologi
Mengejar Angin adalah bahwa angin adalah tetap angin. Makna itu tidak
akan pernah berubah sepanjang tidak ada usaha untuk mengejarnya. Sekali lagi,
aku benar-benar bangga berada di antara sekian nama dalam antologi ini…*bentar
ambil tisu. Dan, kuucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada panitia
penyelenggara, Mas Kury Yusuf dan kawan-kawan dari Bengkel Seni Universitas
Tidar Magelang yang kabar gembiranya sudah diekstrakkan menjadi perguruan
tinggi negeri. Berkat event ini, sebuah tali silatuhrahmi yang semoga tetap
mengikat sepanjang waktu bernama Pasukan Dandelion tercipta. Semoga kita selalu dilimpahi
berkat dari Allah Swt. agar selalu istiqomah dalam berkarya di jalur literasi.
Amin, ya Allah. The last, aku memilih cerpen
Benang Bahorok sebagai cerpen favoritku.
|
Antologi Mengejar Angin dipadukan dengan setoblok getuk goreng asli Magelang |
|
Pasukan Dandelion |
Semarang,
14 Agustus 2014
Ditulis
bertepatan dengan Hari Pramuka oleh seorang prajurit dandelion di sebuah kos
yang masih sepi penghuni.