Pada Suatu Hari
Februari 21, 2014
0
komentar
Berkali-kali
Wati mengatakan kepadaku, “Mbok ya,
kalau jadi orang jangan terlalu masukin ati kalau ada perkataan yang kurang
berkenan. Nanti kamu juga toh yang grundel. Ora nrimo!” Wati terus berjalan di depanku. Mengacuhkan aku yang terus-terusan manyun. Langkahnya semakin
di percepat mendapati seorang lelaki berjalan berlawanan dengannya. Agak
mencurigakan. Ditatapnya oleh Wati dengan pandangan menelisik.
Sebuah
setelan serba hitam dikenakan oleh lelaki itu. Sepanjang jalan ia hanya
menunduk. Sesekali mengerlingkan mata ke semak-semak yang tumbuh berjejer-jejer
di kebun milik jurusan Biologi itu. Matanya, ya penuh misteri.
Aku
sendiri dibuat bergidik. Menyusuri jalan setapak hanya berdua saja dengan Wati,
membuat nyaliku ciut. Belum bombong
hatiku ini dengan perkataan Mba Eka. “Kamu ini jadi orang ya jangan rakus,
salaknya sudah dijatah untuk anak-anak UKM, yang lain saja ngambilnya
dikit-dikit. Kamu?” Ditunjuknya buah salak asli Yogyakarta yang diberikan oleh
Mas Genta seusai KKN yang sekarang berpindah tangan. Katanya untuk oleh-oleh,
dibagi rata!
Sebuah
kardus kosong, hanya ada
serpihan-serpihan kulit salak yang berwarna kehitaman kutubruk. Kumasukkan lagi
salak-salak dari dalam plastik putih, plastik yang biasa digunakan sebagai
wadah kertas sehabis difotokopi. Sambil merengut, kuletakkan buah demi buah.
“Ini, nggak jadi aku. Mangkel. Dumun.
Dikatain nggak pernah makan salak,” gumamku dalam hati. Kupergoki Mba EKa tengah makan salak bersama Mba Reni.
“Enak
toh, salaknya!” ucapku sekali lagi. Masih dalam hati.
Wati
berbelok di depan pertigaan gang Rambutan. Aku mencoba menjejeri langkahnya.
“Ti,
jangan cepet-cepet!”
Wati
terus berjalan tak dihiraukan ucapanku seperti angin yang baru saja lewat.
Sedikit mendinginkan suhu tubuhku yang sedang naik.
Deg!
Tiba-tiba jantungku berdesir.
Kubesarkan pupil mataku, mencari
fokus. Penglihatanku memang kurang baik. Minus
tiga. Jarak aku dengan wati sekitar dua meteran, tak begitu jelas. “Ti?
Mengapa berhenti?” tanyaku ketika
mendapati Wati tak bergeming. Diam. Membeku di tempat.
Deg!
Jantungku semakin cepat terpompa.
Kuperhatikan dua kaki Wati yang diam. Celana jeans ungunya tak begitu kelihatan
berwarna ungu. Termakan malam, hitam seluruhnya. Lamat-lamat aku memperhatikan
sekali lagi. Kukucek mata minusku, untuk memperjelas pandangan.
Tahu aku sedang memperhatikannya, Wati
melangkah perlahan. Sekitar satu meter jaraknya di tempat aku mematung. Tak ada
bunyi kaki berserakan ataupun derap langkah yang menimpa daun-daun mangga yang
berguguran. Langkahnya pelan terayun.
Sekali lagi darahku terpompa dengan
cepat. Seperti kekuatan Jepp Hardtop
yang melaju pada jalan berpasir Gunung Bromo. Deg-deg-deg.
Kucekan tangan kananku di kedua
kelompak mataku, ternyata ampuh meski membuat mataku perih. Namun tak apa,
dengan cara ini penglihatanku semakin jelas. kulihat Wati berada di depanku
persis. Ah, mengapa anak ini bertingkah aneh setelah bersinggungan dengan
lelaki tadi.
“Ada apa, ti?” tanyaku penasaran, “mengapa
berhenti?” tandasku. Kupandangi Wati yang belum mengeluarkan kata-kata. Sinar
rembulan yang menyerupai sabit sedikit membantuku melihat perubahan wajah Wati.
Mulutnya terkatup, ingin mengatakan sesuatu yang teramat susah.
“Ada
apa, Ti?” Kuulangi lagi pertanyaanku.
“Sus....”
“Iya..Ada apa?”
Wati luruh seketika. Tubuhnya mengenai
tanah yang basah karena guyuran hujan.
Samar-samar mulutnya mengeluarkan pekikan nyaring. “Hapeku ilang!”
Hening. Aku melongos. Teringat dengan
senyum lelaki itu.
***
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Pada Suatu Hari
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2014/02/pada-suatu-hari.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar