Big Boss
Februari 18, 2014
0
komentar
Siang
yang terik di Sekaran tak membuat Ara menyerah. Langkahnya terus terayun
mencari sosok pembawa kantong putih dan berbekal tongkat kayu panjang. Mas
pemulung.
Ara
berhenti berjalan.“Bu, lihat mas-mas pemulung yang biasa mangkal di sini? ”
tanyanya pada Ibu penjaga warteg dekat lapak pemulung.
“Nggak
lihat, Nduk. Sudah tiga hari ini.”
“Oh...kalau
begitu saya permisi dulu Bu, terimakasih.”
Kembali
Ara mengayunkan langkahnya. Kali ini lebih cepat. Waktu terus memburunya. Jika
mas pemulung yang ia cari tak didapatkannya hari ini, maka tugas kuliahnya
terancam tidak selesai tepat waktu.
Ara
sudah berada di pertigaan dekat lapak pemulung ke dua, biasanya jam segini
banyak pemulung yang beristirahat sambil menghitung kira-kira berapa banyak
penghasilannya.
Ara
menghampiri bapak pemulung yang tengah meminum es teh. Nikmat sekali
kelihatannya apalagi disantap siang-siang. Esnya mengalir nyes melewati
kerongkongan. Segar.
“Assalamualaikum,
Pak ! Pak mau tanya, lihat mas-mas pemulung yang sering bawa tongkat panjang
dan kantong putih dipundaknya,” ucapku dengan ramah kepada Pak Pemulung.
“Mboten, Nduk.”
Ara
kecewa. Tempat mana lagi yang harus dikunjunginya. Mas pemulung, di manakah
gerangannya? Padahal tiga hari yang lalu sudah berjanji bersedia untuk
diwawancarai lagi. Wawancara yang Ara lakukan masih kurang datanya. Perlu
dilengkapi. Mas pemulung itu yang bisa menggenapinya.
Lagi,
Ara juga masih penasaran dengan mas pemulung aneh itu. Masih muda tapi sudah
jadi pemulung. Waktu ditanya tentang alasannya menjadi pemulung, Ara tambah
kebingungan.
“Jadi
pemulung itu enak Mba. Kerjanya nggak ditekan sama bos. Bisa kerja kapan saja.
Jam kerjanya juga bebas,” jawab Mas pemulung penuh rasa bangga akan profesinya.
Ara
terkekeh. “Wah...saya kira banyak orang yang nggak mau jadi pemulung. Tapi mas
ini kok lain yah? Terus punya harapan nggak mas, misalnya mau pensiun jadi
pemulung dan nyari kerja yang lebih layak.”
Mas
pemulung terdiam. Wajahnya seperti memikirkan sesuatu.
“Yah
Mba..Mba...Aku ini sudah senang sekali bisa jadi pemulung. Pemulung itu
pekerjaan yang mulia, Mba. Manfaatnya banyak sekali untuk kelestarian bumi ini.
Plastik bekas, kertas bekas, dan sampah-sampah lainnya dapat digunakan kembali.
Jadi nggak mubazir kan?”
Ara
semakin dibuat takjub oleh mas pemulung di depannya. Ara saja tidak pernah
memikirkan hal tersebut. Banyak orang di luaran sana yang menggembar-gemborkan
tentang pelestarian lingkungan yang mulai rusak
tanpa pernah melakukan aksi nyata. Tapi, Mas pemulung dengan
kesederhanaan aksinya telah melakukan perannya tanpa banyak bicara. Luar biasa.
Setelah
Ara mewawancarai Mas pemulung, sejak saat itu sebersit mimpi muncul. Mimpi yang
tak pernah terbayangkan oleh Ara sebelumnya. Mimpi yang Ara anggap paling
hebat. Paling tidak biasa. Mimpi menjadi seorang Big Boss.
***
Anai, Sofa, Aldi, dan Bima
terkejut luar biasa. Syok bukan main. Mereka menganggap Ara sudah gila. Gila
akut, stadium akhir.
Anai yang pertama kali mengeluarkan kata. “ Ara !
Kau sedang tidak bercanda kan? Berhenti kuliah bukan solusi yang tepat.
Beasiswa PPA ada. BBM apalagi. Kesempatanmu untuk kuliah masih terbuka lebar,
Ra.”
Bima dan Aldi mengangguk. Sepaham
dengan Anai.
“Lagian yah, Ra. Kamu ini
termasuk siswa yang cerdas. Tak sulit untuk tembus beasiswa. Tolong dipikir-pikir
lagi deh keputusanmu,” sahut Sofa menambahi.
Ara tak bereaksi. Masih tergugu.
Reaksi teman-temannya seperti dugaan Ara sebelumnya. Namun, Ara tak berpikiran
sama dengan mereka. Bagi Ara berhenti kuliah adalah keputusan tertepat yang
bisa ia lakukan.
Ibu Ara sudah tak sanggup
membiayai Ara kuliah. Padahal biaya yang dibayar pun sudah berkurang karena Ara
kerja part time disalah satu warnet
dekat kosnya. Berstatus anak sulung dari keluarga yatim dengan tanggungan lima
adiknya itulah yang membuat Ara mengambil keputusan untuk berhenti kuliah.
Menikmati bangku kuliah dan
menjadi sarjana adalah mimpi Ara yang sedang diusahakannya. Bukan main kerasnya
perjuangan untuk menggapai keadaan Ara yang sekarang. Dan, Ara harus rela bertekuk
lutut pada titik nadirnya. Titik untuk mengambil jeda dalam usaha yang sedang
ia lakukan. Sebuah titik dalam kalimat hidup Ara, lalu dilanjutkan dengan
kalimat baru. Impian baru.
Berat
memang melepaskan mimpi di tengah jalan dan memulai mimpi baru dari awal lagi.
Tapi, Ara yakin. Ini keputusan terbaik. Terbaik untuk Ibunya dan kelima
adiknya. Terbaik juga untuk masa depannya.
Perpisahan
dengan keempat sahabat Ara di kampus menyua. Dengan berat hati Anai, Bima,
Sofa, dan Aldi melepaskan genggaman mereka untuk Ara. Untuk sahabat yang tak
seberuntung mereka. Untuk sahabat yang akan memulai hidup barunya.
Ara
tak kuat berlama-lama dengan sahabat-sahabatnya. Air matanya seperti akan
tumpah. Matanya panas mendapati akhir dari sesi perpisahan. Selanjutnya, Ara
akan menemui benteng terakhirnya. Siap atau tidak siap, harus mengatakan apa
yang sebenarnya terjadi. Ara bergegas menemui Ibunya.
***
Ibu
Ara terdiam lama di atas tempat duduknya. Perlahan bulir-bulir air mata jatuh
menimpa kerudungnya yang berwarna putih. Ibu Ara benar-benar pilu. Tangisannya
adalah wujud penolakan nasib yang menimpa anak sulungnya. Ara.
“Sudahlah
Bu. Ara tidak apa-apa. Berhenti kuliah bukan berarti hidup Ara ikut berhenti. Ara
hanya tak mau lagi mendengar Ibu menangis malam-malam karena memikirkan biaya
kuliah Ara dan biaya sekolah adik. Juga, tak mau lagi melihat penagih hutang
yang mondar-mandir di depan rumah. Ara hanya ingin meringankan beban Ibu.”
Ibu
Ara semakin terisak dalam tangisnya. Ya Allah, ampuni Ibu Ara yang gagal
mewujudkan mimpi anaknya.
“Ra,
menjadikanmu seorang sarjana adalah janji Ibu kepada Ayahmu...”
“Ara
tahu Bu. Ayah juga lebih tahu lagi dan pasti merestui Ara.”
Malam
semakin pekat. Bunyi katak dan jangkrik terngiang-ngiang mendendangkan ironi
kehidupan. Kehidupan Ara dan Ibunya yang masih duduk di atas kursi, diam terhempas
pada pikirannya masing-masing.
Allah.
Engkau tahu yang terbaik untuk hamba-Mu. Jadikan keputusan Ara sebagai
keputusan yang terbaik yang Engkau beri. Jangan sampai ada penyesalan yang
terjadi sesudahnya. Amin.
Besoknya,
Ara sudah tidak lagi berangkat kuliah. Tidak bertemu dengan teman-teman, dosen,
petugas TU, dan kajurnya. Pak Slamet, kajur jurusan PKn ikut menyayangkan
keputusan Ara. Mahasiswa yang menurutnya punya potensi besar untuk menjadi
politikus handal, harus menyerah pada nasib yang tak berpihak padanya.
Benar-benar sangat disayangkan.
“Saya
sedang berproses Pak. Tiga semester mempelajari politik bersama Bapak adalah
anugrah. Berkah yang indah. Tapi, seperti yang Bapak pernah katakan bahwa
politik adalah tentang bagaimana mempengaruhi orang lain. Pengaruh saya bukan
dari sini Pak, tapi dari tempat lain, “ujar Ara ketika meghadap Pak Slamet di
kantornya untuk menyerahkan berkas pengunduran diri.
Pak
Slamet tersenyum. “ Lalu, apa yang hendak kamu lakukan, Ara?” ujar Pak Slamet.
“Saya
ingin menjadi Big Boss, Pak.”
“Big Boss?”
“Iya,
Pak. Saya akan menanamkan pengaruh saya kepada karyawan saya kelak. Saya akan
melanjutkan politik saya.”
“Bidang
apa yang akan kamu geluti, Ara?”
Ara
tak segera menjawab. Lalu, dengan mantap dan suara lantang ia berbicara.
“Pemulung
profesional.”
***
Bismillah....
Hari
ini Ara mulai bekerja. Tekadnya bulat untuk menambah kompetensi-kompetensi yang
dibutuhkan untuk menjadi pemulung profesional.
Ara
menyiapkan kantong besar dan tongkat kayu panjang sebagai modal awal menjadi
pemulung. Selain itu fisik yang kuat juga diperlukan. Wilayah Sekaran mejadi
lahan pencariannya. Rumah demi rumah, tong sampah demi tong sampah ditelusuri
oleh Ara.
Tongkat
kayu panjangnya membantu Ara mengais-ais sampah dan memilah-milah sampah dengan
mudah. Hari pertama kerja, Ara mendapatkan hasil yang lumayan.
Ara
berhenti ketika sampai di lapak pemulung. Istirahat sembari menikmati seplastik
es teh. Dua pemulung juga berhenti di lapak. Pak pemulung yang dulu Ara tanyai.
Dan......
Mas
pemulung itu !
“Loh,
Mba...kok ada di sini? Mau wawancara lagi?”tanyanya memulai pembicaraan.
Ara kaget bukan kepalang. Lama tak
jumpa dengan Mas pemulung dan dipertemukan pada situasi yang telah berubah.
“Agrhhh....anu
mas....nggak Mas. Saya berhenti kuliah.”
Giliran
Mas pemulung yang dibuat kaget bukan kepalang oleh Ara. Dalam pertemuan itu Ara
menceritakan semuanya. Tentang keputusannya untuk berhenti kuliah, tentang mimpinya
menjadi seorang big boss.
“Banyak
yang menganggap keputusan saya gila Mas, mau jadi bos tapi bos mulung. Akan
tetapi saya menepikan semua anggapan itu. Ini mimpi saya Mas. Saya yang
menjalaninya.”
“Jadi
apa yang akan Mba lakukan agar menjadi bos pemulung?” tanya Mas Pemulung pada
Ara. Penasaran.
“Saya
tidak mau menjadi pemulung yang biasa-biasa saja Mas. Nyari sampah, dikumpulin
di lapak-lapak lalu dijual kepengepul. Tidak seperti itu Mas. Saya ingin
menjadi pemulung profesional.”
“Pemulung
profesional?”
“Heeem...saya
sendiri yang akan mengolah dan mendaur ulang sampah tersebut. Saya jadikan
produk rumah tangga dan kerajinan tangan yang memiliki nilai jual tinggi.
Sehingga saya akan terus-menerus menambah kompetensi keprofesioanalan saya
dalam hal pendaurulangan sampah.”
Ara
diam sebentar. Menarik napas panjang, dan menghembuskannya.
“Saya
akan membuat pabrik dan merekrut karyawan sesama pemulung. Seperti Mas ini.
Tapi saya juga tidak akan menekan tetap pada prinsip bahwa pemulang juga bebas
menentukan jam kerja sendiri. Lalu, saya akan melebarkan usaha saya dengan
membuka waralaba pemulung dan mendirikan lapak pemulung sebanyak-banyaknya,”
lanjut Ara panjang lebar.
Mas
pemulung melongo.
Ara
tersenyum bangga.
***
Hari-hari
Ara selalu diselimuti dengan usaha mewujudkan mimpinya. Ara kian mantap menjadi
big boss. Jalannya juga sebentar lagi
akan menemui titik temu. Muara mimpinya.
Ada
dua orang yang selalu mengawasi Ara dan mimpinya. Ibu Ara dan Mas Pemulung. Ibu
Ara selalu mengawasi anaknya dengan tangisan. Tak tega anak gadisnya menjadi
pemulung yang mengais-ais sampah di jalanan. Sedangkan Mas pemulung selalu mengawasi Ara dengan
senyumnya.
Dia tahu bahwa Ara adalah pemimpi
besar. Bukan seperti dirinya. Dari Ara, Mas pemulung belajar banyak hal.
Seorang pemimpi selalu berusaha mewujudkan
mimpinya tanpa jeda.
Mimpi kecil dan usaha besar akan
menjadikanmu orang luar biasa. Sedang mimpi besar dan usaha kecil akan
menjadikan orang biasa saja.
Mas
pemulung yakin akan satu hal. Ara akan menjadi orang luar biasa. Ara adalah Big Boss sejati.
***
Sumber gambar: Rehsos.Kemsos.Go.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Big Boss
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2014/02/big-boss.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar