Unforgettable Journey: Memories of Bromo
Maret 25, 2014
9
komentar
Hobi
Traveling
Bagi sebagian
orang, traveling adalah hobi yang
menyenangkan. Tak terkecuali saya. Meski begitu, saya bukan seorang pencinta
alam. Tidak juga menjadi anggota yang tergabung dalam Mahapala di kampus. Saya
bukan yang ingin mendalaminya, tapi saya
suka. Itu saja.
Kesukaan terhadap
traveling sudah sejak lama, barangkali
selepas mengikuti Persami saat sekolah dasar. Lantas menjadi semakin besar
setelah saya resmi menjadi anggota magang di Lembaga Pers Mahasiswa. Awalnya,
karena tertarik menulis, saya justru terdorong untuk mengembangkan hobi travel saya yang sempat vakum.
Nah, gimana tidak
suka? Kalau mau tidak mau seorang reporter harus melakukan traveling “reportase” untuk mendapatkan sebuah berita. Ya,
itung-itung sih, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Kesempatan
Emas
Sebagai seorang reporter, ya
walaupun masih amatir, pengalaman yang saya dapat lumayan banyak. Bertemu
pejabat dari Gubernur, Rektor, sampai Dekan. Mewawancarai NIDJI. Berjabat
tangan dengan Astri Ivo, sampai menjelajah sebagian kota di Jawa Tengah untuk
liputan. Pokoknya, seru!
Sebuah kesempatan
emas, saya dapatkan awal November tahun lalu. Kata Mba Dewi selaku Pimpinan
Umum, saya dipilih sebagai salah satu reporter yang ditugaskan untuk meliput
bakti sosial yang diadakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) se-universitas.
Senang banget rasanya, terlebih setelah
mengetahui tempat baksos akan diselenggarakan. Tempat nan indah yang sudah
tersohor seantoro Indonesia bahkan hingga mancanegara. Coba tebak, di manakah
itu?
Bromo, I’am
Coming...
Gunung Bromo bukan menjadi
destinasi utama. Di Desa Ngadisari-lah, selama empat hari saya beserta
rombongan menghabiskan waktu. Beragam kegiatan dan fasilitas telah disediakan.
Saya tinggal berangkat dan meliput.
Pertama kali
menginjakkan kaki di Ngadisari, hal pertama yang saya lakukan adalah bengong.
Gila! Baru lihat pemandangan sebagus ini. Hamparan pegunungan yang gagah,
membujur melingkari Ngadisari. Seusai melakukan registrasi, saya mulai beraksi.
Di depan Balaidesa
Ngadisari, saya berkeliling. Mengambil kamera pocket yang sengaja saya masukkan
ke tas kecil bersama alat rekam, handphone, serta alat tulis. Saya hampiri
ibu-ibu yang tengah asyik bercengkrama.
Namanya Bu Iti
(78), sangat senang ketika saya wawancara. Logat khas Jawa Timurnya kentara
betul di sela-sela beliau berbicara. Bu Iti menceritakan bagaimana beliau hidup
sehari-hari. Sederhana! Itulah kata yang bisa saya ucapkan.
Orang-orang
Ngadisari adalah cerminan masyarakat Indonesia yang hidup dengan tentram dan damai. Keseharian
mereka adalah bertani (tegalan). Kentang, kubis, daun bawang, dan wortel adalah
komoditas yang paling banyak ditanam. Sarung sewek dengan motif jarik adalah
pakaian yang sering dikenakan oleh ibu-ibu di sana. Sedangkan bapak-bapak
terlihat asyik menikmati sebatang rokok yang dihembuskan pelan. Ya, mereka
tidak pernah tahu kehidupan di luar sana yang sering tak ramah, banyak tipu
muslihat, dan tidak setulus mereka ketika mengurai senyum. Bagi saya, mereka
adalah keindahan murni, tanpa pemanis dan dibuat-buat. Indah dari dalam.
Edelwies di
Tengger
Saya sering melarikan diri
diam-diam. Entah itu saat ada pelatihan simulasi bencana ataupun demo memasak
yang saya juga terlibat sebagai panitia. Bukan untuk menyia-nyiakan tugas, akan
tetapi meliput acara formal semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari saya.
Gampanglah, batin saya. Saya lebih tertarik dengan sesuatu yang ada di
Ngadisari, yang menarik.
Patung Roro Anteng |
Hari ketiga, saya
menemukan sebuah patung. Kata warga setempat, dia adalah Roro Anteng. Saya
bertanya, siapakah dia sampai-sampai mayoritas rumah di Ngadisari terdapat
patungnya. Dari hasil investigasi, akhirnya saya dapat bertemu dengan orang
yang bisa menjelaskan semua itu.
Beliau adalah Pak
Sutomo selaku Dukun Pandhita suku Tengger di Ngadisari. Sangat ramah dalam menyambut
saya. Beliau menceritakan siapa sebenarnya Roro Anteng itu.
Berabad-abad yang
lalu tinggallah sepasang suami istri. Joko Seger adalah putra Brahmana yang
menikahi putri Raja Brawijaya, dialah Roro Anteng. Legenda yang masyur itu
berawal dari pernikahan yang tak kunjung dikaruniai keturunan.
Keduanya lalu
bersemedi. Memohon agar diberi keturunan disertai ikrar kepada roh penjaga
Gunung Bromo jika permohonan terkabul, mereka akan melakukan pengorbanan.
Beberapa tahun kemudian, mereka dikaruniai anak berjumlah 25 orang. Untuk
memenuhi janjinya, sepasang suami istri tersebut menyerahkan putra bungsunya,
Dewa Kusuma.
Legenda itu terus
berkembang. Dipercaya dan abadi, layaknya edelwies. Nama suku Tengger menjadi
saksinya. Masyarakat suku Tengger percaya bahwa Roro Anteng dan Joko Seger
adalah leluhur mereka. Nama Tengger sendiri diambil dari suku kata terakhir
suami istri itu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger, sehingga
jika digabungkan membentuk kata “Tengger.”
Sunrice Terhangat
Hari keempat di Ngadisari
rencananya akan ditutup dengan melihat sunrice
yang dilanjut pendakian ke Gunung Bromo. Saya dan rombongan berangkat pukul
tiga dini hari menggunakan Jeep Hardtop. Bintang yang menudungi langit
Ngadasari berkelap-kelip. Saya berdoa, semoga hari ini cerah.
Rombongan saya
ada enam orang. Saya, Elis, Mba Marfuah, Mas Rouf, Dani, dan Khusnul. Setelah
berdoa, perjalanan di mulai. Awalnya memang pusing karena jalan yang dilalui
naik turun. Tapi, setelah memasuki daerah yang datar sensasinya sangat
menakjubkan. Lesat jeep dikemudikan. Kaca mobil sempat diterpa pasir yang beterbangan.
Foto di depan Jeep Hardtop |
Jeep berhenti
setelah satu setengah jam berjalan. Saya dan rombongan mengikuti tour guide, memasuki gerbang menara.
Wajah saya serasa ditampar oleh angin. Sangat dingin, sampai-sampai beberapa
gigi saya bergemerutuk tak karuan. Padahal saat itu saya mengenakan pakaian
lapis empat.
Setibanya di
puncak menara, betapa terkejutnya ketika saya dapati telah penuh sesak.
Jaket-jaket tebal terlihat digunakan oleh para wisatawan baik lokal maupun
asing. Saya mendekati seorang turis. Ia datang dari Jerman, namanya Jasmine.
Setelah berbincang-bincang tentang keindahan Bromo dan budayanya, fokus saya
beralih ke sunrice yang sebentar lagi
muncul.
Menit demi menit
saya menunggu kedatangannya. Saat dia muncul, mulut saya dibuat bungkam.
Sungguh hanya tiga kata yang bisa menggambarkan pemandangan di depan mata saya. Indah. Keren. Subhanallah!
Menikmati sunrice di menara |
Saya bersama rombongan yang lainnya |
Titip
Kenangan
Pendakian ke Gunung Bromo tidak
seperti pendakian pada umumnya. Tas ransel yang besar, peralatan kemah, lampu
badai, dan makanan yang banyak itu semua tidak dibutuhkan. Siapkan saja
kacamata sebagai pelindung dari terpaan pasir. Dan, air yang banyak untuk bekal
menaiki dua ratus anak tangga menuju kawah Bromo yang legendaris.
Di puncak, sekali
lagi saya terperanjat. Udara saya hirup. Saya ingin menyimpan bau Bromo dalam
hati saya. Biar nanti ketika saya merindukannya, saya dapat menemukannya
kembali.
Ya, saya
bertafakur dalam diam. Saya merasakan Tuhan begitu dekat. Tangan-Nya merangkul
saya. Seraya membisikkan kalimat bahwa tanah ini, tanah di mana saya berpijak
dan dilahirkan adalah tanah terindah yang Tuhan anugerahkan. Betapa seringnya
saya merendahkan bahkan menghinakan tanah ini serta orang-orang yang hidup di
atasnya.
Kini, setelah
saya melihat Bromo, saya menemukan sesuatu. Bukan “sesuatu”nya Syahrini,
melainkan sesuatu yang perlahan-lahan memudar. Hilang. Ya, kebanggaan terhadap
tanah ini. Tanah Indonesia.
Saya lantas
berdoa.
Tuhan, saya
mencintai tanah ini dengan sepenuh hati. Saya titip kenangan ini. Jadikan
seperti kuncup-kuncup edelwies yang
tengah mekar. Saya ingin kebanggaan saya abadi, di sini, di hati ini.
Tuhan, setelah
perjalanan ini, jadikan saya orang yang lebih baik.
Begitulah doa
saya. Setelahnya saya turun dan menitipkan kenangan ini dalam memori Bromo. Selamanya.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Unforgettable Journey: Memories of Bromo
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2014/03/unforgettable-journey-memories-of-bromo.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
9 komentar:
waaahhh, jadi pengen ke bromo (lagi)..... tp nggak kuat sm dinginnya hihihi :) salam kenal mbak ^^
walau domisili di Jatim aku belum pernah ke Bromo,,,pengen banget ke Bromo,,,
Cieeee...ngak ngajak-ngajak ig Susi....
Iyah sama-sama yah..Bromo emang indah banget....jadi bangga sama Indonesia...
Iyah sama-sama yah..Bromo emang indah banget....jadi bangga sama Indonesia...
Terimakasih yang telah memberi komentar
ke Bromo udah tapi belum nyampe negeri diatas awan itu mak, hiks mupeng beraatttt!!!!
makasih ya mak, sudah terdaftar sebagai peserta ya :)
Iya sayang sekali kalau nggak liat negeri di atas awannya. Padahal keren....Iya sama-sama.
Selalu ada pesona yg tak akan pernah hilang dari puncak2 gunung nan cantik itu ya :) Saya sudah pernah ke Bromo tanpa mendaki tangga, langsung dari jalur Semeru-Bromo, jalan kaki pulak :)
Terima kasih sudah ikut meramaikan GA Unforgettable Journey ini. Good luck :)
Posting Komentar