Lukisan Sang Mantan

Posted by Unknown April 27, 2013 0 komentar



                Debu kalau lagi musim pancaroba seperti ini, sangat menjengkelkan. Jalanan jadi tidak enak dilewati, ada angin sedikit mata bisa merah gara-gara kelilipan. Aku sedang terburu-buru, debu ku hadang tak kenal ampun lebih baik memang begitu daripada mendengar ocehan dari Bu Tarmi dan segerombolan ibu-ibu bergosip ria tentang diriku. Sudahlah ibu-ibu, tak usah mencampuri kehidupan orang, urus saja urusanmu sendiri. Toh dengan mencampuri urusan orang apa bisa kenyang, bisa dapat duit? Tidakkan kan.
            Aku membenahi seragam PGRI ku, jangan sampai berpenampilan buruk di hari pertama kerja.Ku cek lagi tas berwarna coklatku. Dompet,berkas-berkas untuk di legalisir, Make-up yang ku taruh seenaknya, sudah lengkap. Elp melaju di depanku ku berhentikan.Aku naik kedalamnya.
            “ Mau kemana Bu..” Ucap sang kenek.
            “ Sma 2 Brebes.” Sahutku.Tiga lembar uang seribuan aku keluarkan.
            Seorang ibu-ibu yang duduk di sebelahku tersenyum.Menggeser sedikit badannya mepet kepojok kursi.“ Guru Sma 2 toh, Mba?” Ucapnya kepadaku.Ibu itu mendengar perkataanku dan mengajak basa-basi.
            “ Benar Bu.” Sahutku.Ibu itu kembali tersenyum.“ Masih muda sudah jadi guru, Sudah menikah Mba..” Tanyanya.
            Aku tersentak, tidak di rumah, di sekolah, di kendaraan umum, Orang yang lama kenal, baru kenal bahkan yang tidak kenal, menanyakan hal yang sama. Sudah menikah Mba? Mau ku jawab apa. Aku tersenyum dan memilih diam, pura-pura mengacuhkan ibu ini, alih-alih ku buka berkasku mengecek kelengkapannya lagi.Ibu itu diam memandang ke jendela, paham dengan maksudku.
***
            Umurku sudah 26 tahun, baru mendapat pekerjaan sebagai guru di Sma negeri di kabupaten Brebes. Hari-hari ku di lewati sebagai gadis yang biasa saja.Sibuk dengan mengajar, pulang sore habis itu di rumah dan balik lagi kerja.Keluargaku adalah contoh keluarga teladan, Ayahku seorang pegawai dengan gaji yang sanggup membiayai dua orang anaknya hingga menyandang titel sarjana.Kehidupan keluarga kami normal, Kakak ku sudah pindah ke Tegal ikut bersama isterinya tiga tahun setelah pernikahan.
            Keluargaku lumayan di pandang di desa kami, karena gelar pendidikan yang aku, ayah dan kakakku sandang.Tapi meski di pandang hebat sekalipun, cemoohan dan ocehan dari para tetangga tentangku makin hari makin gencar.Perawan tua.Tidak nikah-nikah, tidak laku. Meski mereka mengatakkannya di di belakangku, anjing menggonggong pasti akan dengar.
            Menikah, memangnya siapa yang tidak mau nikah, aku juga sudah bosen hidup sendiri, pengen dapat kasih sayang, pengen dapat perhatian.Melihat Bu Eta di anter pulang pergi oleh suaminya, siapa yang tak mau seperti itu.aku juga mau. Aku juga ingin.Sebutan perawan tua, siapa yang mau menerimanya.Orang dengan kedudukan sepertiku apalagi, ogah menerimanya.
            Kalau ingat ini siapa yang hendak ku salahkan, Tuhan? Haruskah ku salahkan sang pemberi jodoh. Tak mungkin, bisa kualat aku.Diri ku sendiri?Yang tidak bisa bergaul. Atau Ayahku. Benar Ayahku, dialah penyebabnya, jodohku bukan aku yang memilih tapi ayahku.Pernikahanku gagalpun karena beliau.
***
            Herman, Dia adalah sosok laki-laki yang kukenal dalam hidupku, sosoknya takkan tergantikan.Laki-laki penyabar, semangat dan bertanggung jawab.Aku mengenalnya saat menghadiri pesta buku murah tahunan di Gedung KORPRI.Di situlah aku melihatnya.
            Umurku saat itu Sembilan belas tahun, sedang liburan semester dua. Herman ketika itu sedang melukis, seperti biasa stannya selalu ada jika ada pameran, karnaval atau even-even yang mengandung seni lainya.
            Aku begitu terpesona, tangan Herman sangat lincah.Melukis di atas kanvas, meramunya dengan oalahan warna.Menakjubkan.Aku sampai lupa membeli buku, berjam-jam aku memperhatikan Herman.
            Tahu di perhatikan, Herman menghentikan pekerjaannya, ia menatapku. Betapa terkejutnya aku ketika ia tersenyum ke arahku, dan ia tahu namaku. Ia tahu namaku.
            “ Lastri!” Serunya, aku sungguh tak percaya, aku berjalan menghampirinya.Ternyat Herman mengenalku. Gadis langganan pameran buku, setiap ada even pasti Herman melihatku, secara diam-diam ia mencari tahu tentang aku.
            Tahukah kalian, sejak saat itu aku mulai akrab dengannya.Mengenalnya hingga aku dan Herman pacaran.Hubungan kami berjalan dengan sangat baik.Meski jarang bertemu, dan pertemuan kami hanya dua tiga kali saat aku ada libur kuliah.Hubungan kami tetap langgeng hingga aku menyelesaikan studiku.
            Aku masih ingat, setelah di wisuda Herman mengajakku ke alun-alun Brebes.Betapa senangnya aku ketika itu, ku siapkan semuanya dengan sempurna, pakaianku, model kerudung, bahkan aku hafalan teks untuk percakapan basa-basi ala kadarnya jika kehabisan kata-kata berbicara dengannya.Semuanya ku persiapkan.
            Saat itu juga aku masih ingat, aku harus berbohong kepada ibuku dan ayahku. Reuni Sma, ku bilang waktu itu ketika akan meninggalkan rumah, mereka percaya-percaya saja dan memperbolehkan aku pulang malam.
***
            “ Las, mau tidak gulalinya?” Herman menawarkan gulali, ia sangat senang dengan makanan yang manis-manis, aku juga.
            Kami berdua duduk di area alun-alun Brebes. Menikmati gulali manis berdua. Aku sangat bahagia, tak pernah aku melakukan hal seperti ini.Selama ini hidupku adalah buku, buku dan buku.Duduk berdua layaknya muda-mudi memadu cinta, sungguh tak pernah ku bayangkan sebelumnya.Gulali habis, Herman mengisyaratkan untuk segera beranjak, perut Herman terasa keroncongan, seharian belum makan.Sedangkan aku, laparpun tidak, hari ini perutku terasa kenyang terus, sangking bahagianya.
            Nasi goreng Pak Kumis menjadi pilihan kami, Herman senang bisa mengajak aku di tempat makan langganannya.Iya terus membangga-banggakan Pak Kumis. Pak Kumis, laki-laki berbadan tambun yang sedang menggoreng nasi putih dalam wajan penggorengan, tersenyum bangga melihat tingkah Herman pemuda yang sudah di anggap seperti anaknya.
            Nasi goreng telah siap, Herman tertawa kegirangan ketika mengetahui porsinya bertambah.“ Bonus.” Bisik Pak Kumis ke telinganya.Kami betul-betul menikmatinya, rasanya memang benar-benar lezat.
            Selesai menikmati nasi goreng, Herman mengajakku ke Karang Birahi, karena ada pasar malam di sana. Aku sangat bahagia behagia Pacarku memang yang paling juara jika menyenangkan hatiku.Herman, aku benar-benar mencintaimu.
***
            Sudah satu minggu Herman tidak menghubungiku.Ia masih marah ketika aku mengungkit-ungkit tentang pernikahan. Sebenarnya juga aku tak ingin mengungkitnya, tapi ibuku terus menerus menekan, jika aku tak segera mengenalkan pacarku sendiri, ayah akan mencarikan calon untukku. Aku juga tak mengerti mengapa Herman marah, bukankah sudah sewajarnya aku menanyakan hal itu.toh umurku dan umurnya sudah pantas, kelewat pantas untuk segera menikah.
            Dua, tiga minggu bahkan satu bulan tak ada kabar lagi dari Herman, orang tua ku sudah tak sabar.Terus menerus menekanku.Akhirnya ada kabar dari Herman, aku sangat senang. Herman berjanji ia akan datang ke rumah dan menemui ayahku, ia bahkan minta maaf karena tak ada kabar, ibunya sakit butuh uang untuk ke dokter mau tak mau Herman memutuskan untuk bekerja sebagai kuli angkat bawang, penghasilannya sebagai pelukis tak mencukupi. Apalah arti seorang pelukis amatiran sepertinya, tak banyak yang mengerti seni di Brebes.Aku sedih mendengar cerita Herman, lalu ku maafkan dia.
***
            Herman benar-benar datang, pacarku meminang aku langsung di hadapan ayahku. Tapi apa yang di dapat sungguh mengenaskan. Bapak ku yang terus menerus menekan agar akan cepat kawin, dengan kasar memberikan penolakan pinangan Herman.
            Seorang pelukis, kuli panggul, tak bertitel.Apa yang bisa di harapkan. Ayah menolaknya mentah-mentah. Beliau tak melihat keseriusan  dan kesungguhan Herman. Ayah tak melihatnya. Padahak sudah ku bilang aku tak butuh semua itu, yang ku butuhkan adalah laki-laki yang benar-benar mencintaiku, menerimaku apa adanya. Hanya itu, tapi ayahku tak mau mengerti, tak mau tahu.Mau di taruh di mana mukanya jika menerima menantu seperti itu.
            Aku tersungkur, melihat Herman dengan wajah tenangnya melewati pintu rumahku, aku mengejarnya, aku tak mempedulikan ayahku bahkan ibuku yang menangis ketika mencegahku. Aku terus mengejar, Herman berhenti, pria malang itu menetapku, wajahnya nanar. Tak ada yang lebih menyakitkan di duniaini  selainseorang laki-laki yang di tolak pinangannya, harga dirinya pun di injak-injak. Tapi tahukah kalian apa yang ia katakan sebelum meninggalkanku.
            “ Ayahmu benar Las, aku tak pantas. Kamu terlalu baik untukku. Janganlah bersedih, mari akhiri hubungan ini baik-baik, karena kita juga memulai secara baik-baik. Kenanglah aku sebagai orang yang pernah mencintaimu dengan tulus.Meski tak bersama aku akan tetap mencintaimu.”
***
            Sampai sekarang aku belum melupakan Herman, cinta pertamaku yang mengajarkan aku bagaimana mencinta dan di cinta.Dua tahun sejak kejadian itu, beginilah keadaanku.Belum ada laki-laki lain yang menghampiriku.Laki-laki mungkin takut mendekatiku, karena gelarku yang tinggi, rupakku yang tak cantik atau takut jika mengalami nasib serupa Herman.Rencana perjodohanku pun terbengkalai, Ayahku yang terlalu stess memikirkan anak perempuannya tak mampu menghindar ketika sakit menyerang, ibuku juga sibuk dengan biaya pengobatan ayahku.Dan aku, aku berusaha menghilangkan harapan menikah, aku sudah pasrah, jodohku sudah ada yang atur.Masalah cepat atau lambatnya itu urusan yang di Atas, yang bisa ku lakukan adalah sabar menunggu.
***
            Sebulan lebih aku menjadi guru, pekerjaan yang menjadi cita-citaku.Aku senang menjalaninya, mengajar dan bertemu dengan murid-muridku yang sangat ampuh menjadi obat mujarab penghilang beban pikiran. Tawa mereka, harapan mengejar masa depan, cita-cita mereka yang baru di gantungkan di langit membuatku mencurahkan seluruh tenaga menjadi guru mereka bagiku taka da hari libur. Menjadi guru yang baik adalah prioritas utamaku.
            Seperti hari minggu ini, aku berangkat untuk mengajar ekskul anak-anak, karena aku sedikit mempunyai ilmu tentang menulis aku ingin berbagi dengan murid-muridku.
            Elp yang ku tumpangi berhenti di pertigaan alun-alun, seperti biasa kenek akan mencari penumpang sebelum melanjutkan perjalanan. Aku memandang ke alun-alun, baying-bayang herman masih lekat di ingatanku. Mataku mulai awas ketika ku lihat sosok pak kumis mulai berberes untuk berdagang nasi goreng seperti biasanya.Sudah lama aku tak mampir, sejak pertama kali makan di situ.Entah bagaimana hatiku tergerak, aku membayar ongkos lalu turun, aku melangkahkan kaki ke tempat Pak Kumis berada.
            Semakin dekat kakiku menuju gerobak Pak Kumis, tetapi langkahku tertahan.Badanku mati rasa, siapa yang kulihat sekarang, siapa?Benarkah dia?benarkah sosok itu. Apa yang sedang dia di lakukan, kenapa penampilannya seperti itu.
            “ Pak Kumis?” Sapa ku ke Pak Kumis, Pak kumis melihatku, beliau kaget. Nasi yang hendak ia berikan untuk orang gila di hadapanku jatuh. Aku terus memandanginya, mata ku melihat tapi kepalaku tak mempercainya.Orang gila itu, orang gila yang mengais-ais nasi di tanah.Siapakah dia?
            “ Mba Lastri?” Pak Kumis tertegun, beliau memandangiku dengan tatapan tak percaya.
            “ Herr,,,,man…” Jeritku ketika aku melihat wajah orang gila itu secara dekat. Orang gila itu menyeringai, setelah memakan semua nasi yang tumpah ke tanah orang gila itu seperti ketakutan, benda yang ia dekap, semakin di dekapnya dengan kuat, Orang gila itu takut jika aku mengambilnya.
            “ Benarkah,…Pak Kumis? Herman..??” Aku mencoba meraih orang gila itu, tapi ia menghindar, ketakutan. Pak Kumis masih diam. Aku membujuknya untuk berbicara.
            “Mba, benar dia adalah herman…” Ujar Pak Kumis.“Tapi mengapa?Mengapa seperti ini?Apa yang terjadi Pakk??”
              Herman sudah seperti ini sejak dua tahun yang lalu…Kematian ibunya, pinangannya yang ditolak serta kecelakaan yang menyebabkan tangannya harus di amputasi..menjadikan Herman seperti ini…Bapak juga sedih..”Aku tak percaya, dunia seolah runtuh menimpaku.Air mataku meleleh, jatuh berbuliran.Apa ini mimpi? Aku mencubit pipiku.Sakit.Ini bukan mimpi.Herman cinta pertamaku, kenapa seperti ini.
            “ Aaa…pa…a yaa..ng di pe..gangnya Pak…?” Tanyaku terbata.
            “ Lihatlah sendiri, lukisan itu Herman buat untuk Mba, Herman menunggu Mba..” Sahut Pak Kumis pelan.
            Aku mendekati Herman, dia mulai tak takut, tenang dan tak menyeringai lagi.Apakah Herman masih mengenaliku?Aku jonggkok di hadapannya, tanganku meraih wahainya.Herman diam. Ku pegang pipinya.Rambutnya kusut tak pernah kena sampo, borok di tangan kanannya telah kering di biarkan begitu saja.AKu mengusapnya lembut, tak diduga Herman menyerahkan lukisan yang ia dekap dengan kuat tadi. Ia menyerahkannya. Aku menerimanya.Siapa yang berada di likisan ini, aku membukanya.Sebuah gambar, wanita berkerudung.Aku mengenal wajah dalam lukisan itu.Sangat familiar, ini adalah wajahku.Wajahku yang berada di lukisan itu.
            Aku tertegun mengamati lukisanku sendiri, tetes air mata mengenai lukisanku. Tepat di pojok kanan lukisan yang di buat oleh Herman sebelum ia menjadi gila, tulisan rapi terukir di sana.
            Selamanya Aku Mencintaimu.”

           
           

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Lukisan Sang Mantan
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2013/04/lukisan-sang-mantan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .