Burung Manyar

Posted by Unknown April 14, 2013 0 komentar



Namanya Dusun Sida Mulya, masih bagus sekali pemandangannya. Burung-burung manyar masih terlihat beterbangan ketika sudut-sudut di angkasa menguning, air di Dusun ini mengalir putih  jernih meski bermuara di selokan. Hembusan angin sore menyergap tubuhku, mengajakku bermain. Aku tersipu tertunduk malu, betapa aku telah berdusta membiarkan hati memilih untuk pergi.
Lantas apa yang harus ku perbuat, tugas ku sudah berakhir di sini, tepat setahun. Bukankah kembali ke rumah  dan mendapatkan pekerjaan di sana adalah impian, angan, dan citaku. Meski begitu tegakah aku meninggalkan Si kecil Sobri yang masih belum bisa mengeja dengan baik, Si Manis Zahra yang mempunyai suara nan merdu dan bermimpi jadi penyanyi, ada juga Kamar anak yang pandai mendongengkan cerita-cerita horor Dusun Sida Mulya lalu membuat semua anak bergerombol berlindung pada tubuhku ketika merasa ketakutan, lalu bagimana dengan Indah yang masih belum bicara sepatah pun semenjak aku di sini.
Mampukah aku untuk meninggalkan mereka dan mengikuti ego dan mauku. Burung manyar hinggaplah selagi kau terbang , cegahlah agar aku tidak pergi. Beri aku alasan yang kuat, beri aku sebuah alternatif pilihan lain. Jika engkau masih membiarkan aku pergi,  jangan biarkan senyum-senyum tulus mereka terus mengusik pikiranku kelak, canda tawa mereka membangunkan tidur malamku nanti, karena aku sungguh tak tahan jika seperti itu. Lekaslah burung manyar, lekas kau kesini, cegahlah aku.
***
Pak Setu, kepala dusun Sida Mulya tergopoh-gopoh menghampiriku di antara keramaian penduduk yang berduyun-duyun ingin mengucapkan selamat jalan. Bu Darmi, emaknya Sobri melepaskan kepalan tangannya, tak berhasil dengan rayuannya menghentikanku untuk tidak pergi dan melangkah gontai menemui anaknya.
“Nduk, kendaraannya sudah siap, itu di depan. Nanti Pak Jo nganter sampai perbatasan. Setelah itu Nduk bisa melanjutkan naik kendaraan yang ada di perbatasan.” Ucap Pak Setu, air mukanya tampak tenang. Pemimpin desa yang seumuran dengan bapakku ini adalah orang yang  selama ini menyediakan tempat tinggal dan mendukung kegiatan SM3T. Pak Setulah yang paling antusias ketika mengetahui akan ada program sarjana mendidik di dusun ini. Dan sekarang Pak Setu jugalah orang yang paling sabar dan legowo melepasku.
Pak Jo sudah menyiapkan kemudi, tancap gas. Sebuah mobil pick-up berwarna hitam mengepulkan asap dari knalpotnya yang mulai usang, inilah si hitam satu-satunya kendaraan yang bisa dipakai untuk lintas perbatasan. Pak Jo, orang terkaya di Dusun inilah pemiliknya.
            Sebelum pergi, pasukan kecilku, Sobri, Zahra, Kamar, dan Indah 4 sekawan yang tersisa hingga akhir menghampiriku.
            “ Bu Eka...” Sapa mereka. Aku tersenyum, inilah saat-saat yang aku tunggu sedari malam, perpisahan dengan mereka. Indah komat-kamit ketika langkah mungilnya hampir sampai di depanku. Empat sekawan, apa yang akan kalian lakukan sekarang, jika mau mencegahku untuk tidak pulang maka tak akan membuahkan apa-apa.
            “ Bu Eka, Ibu memang harus pergi, kami tahu itu. Satu tahun, kontrak dari pemerintah. Ibu harus pergi, kami tak bisa mencegahnya. Tapi tahukah ibu?” Ucap Kamar, ia mengicau seperti biasa. Tapi aku tahu ada ketulusan didalamnya.
            Kamar mengisyaratkan agar aku sedikit menunduk, mulutnya sudah mengapai kupingku. Sebuah bisikan ia ucapkan dengan sangat pelan. Setelah itu ia berlari. Giliran Zahra dan Sobri yang mendekat, Sobri memberikan sebuah lukisan, aku tak tahu apa yang ia lukis, gambarnya tak jelas. Goresan dari seorang anak yang setahun ini tak dapat mengeja, lukisannya abstrak, tapi aku tahu maknanya. Giliran Zahra yang mendekat, anak yang paling cerdas kukira diantara 4 sekawan.
            “ Ibu, tahukah ibu jika Zahra ingin jadi penyanyi, tapi setelah kedatangan ibu, Zahra batal jadi penyanyi, Zahra ingin jadi guru. Guru yang baik, seperti ibu. Zahra sudah bilang emak, dan emak setuju jika Zahra sekolah lagi, ” tandasnya. Anak itu lalu  berlari. Kawanan yang terakhir mendekat, Indah. Anak pendiam yang belum pernah ku dengar suaranya. Mulutnya terus-terusan berkomat-kamit. Tak ada suara yang muncul.
            “ Indah mau bicara apa?” tanyaku. Indah diam, pikirannya seperti menerawang. Dari balik pintu, Pak Jo melambai-lambai. Indah bergerak cepat, sebuah amplop ia berikan kepadaku.
***
Keputusanku untuk mengabdi sebagai seorang guru di daerah-daerah yang tertinggal merupakan hal yang benar. Meski mendapatkan larangan dari keluargaku aku tetap bersikeras mengikuti seleksi SM3T, dan berhasil lolos. Meninggalkan keramaian kehidupan di kota dan beralih tinggal di sebuah dusun yang masih murni peradabannya. Dusun Sida Mulya, Dusun penuh romansa. Penduduknya ramah-ramah dan masih bersifat kekeluargaan, namun sayang pendidikan disini tak ubahnya seperti si hitam yang tak sembarang orang dapat memilikinya.
Paling tidak harus punya duit, harus punya jabatan, atau jadi orang terkaya dulu. Ketika aku datang,  baik pria, wanita, tua, muda, anak kecil semuanya buta aksara. Satu-satunya yang bisa aksara hanya Pak Setu dan Pak Jo. Kedatangan pertama kali, aku masih ingat ketika semua warga mengira bahwa aku adalah makhluk yang turun dari dunia lain , tiba-tiba datang mengajak untuk sekolah, untuk belajar, makhluk gembleng pikir mereka. Lah wong pendidikan itu, seperti barang langka bagi mereka dan aku datang dengan seenaknya membawa nama perubahan.
Di hari-hari awal membujuk dan terus membujuk satu persatu anak-anak usia sekolah menjadi target utama, aku terus mengiming-imingi mereka, bahwa mereka berhak untuk sekolah, berhak untuk mendapat pendidikan. Usahaku berhasil, sekitar sepuluh orangan mau aku didik untuk berlatih menulis, membaca dan berhitung.
Warga yang awalnya mengira aku makhluk aneh, sedikit berubah sikapnya melihat perjuangan kerasku, bahkan mereka tergerak hatinya untuk membantu  membangun sekolah di tengah-tengah sawah milik Pak Jo. Satu bulan di Sida Mulya, sebuah sekolah yang sebenarnya lebih mirip pos ronda jika di tempatku akhirnya berdiri.
Aku mulai mengajar. Memberikan ilmu tentang hitung-hitungan, menulis, kewarganegaraan, Pancasila, membaca, mendongeng, dan  membuat ketrampilan. Demam belajar merebak di sentaro dusun, aku sangat senang tapi itu tak lama.
Musim panen datang, semua warga seakan lupa dengan barang baru mereka, murid-muridku hilang satu persatu. Mereka lebih asyik mengangon kebo dan memanen padi ketimbang belajar menghitung atau membaca. Setengah tahun sudah, kini muridku tinggal empat, itulah mereka 4 sekawan.
***
Burung manyar terbang diangkasa, kepakan sayapnya nampak anggun membumbung dilangit Dusun Sida Mulya . Pak Jo masih mengendarai si hitam dengan kecepatan tak kurang dari 50 kilometer perjam. Si hitam bergerak terus meninggalkan jejak-jejak kehidupan dusun Sida Mulya.
“Nduk, paling sejam-an lagi sampai di perbatasan, “ ucap Pak Jo pelan, aku mengangguk dan sedang tak ingin berbicara dengan siapapun. Berbohong dengan diri sendiri rasanya menyakitkan. Sudah tahu tak akan rela jika harus pergi tapi aku tetap pergi juga. Sudah tahu akan rindu dengan mereka, tapi main tak acuh dengan tanda perpisahan mereka, inikah contoh guru yang baik. Meninggalkan muridnya bahkan sebelum melihat mereka lulus.
Inikah aku, manusia biasa, yang tak bisa lepas dari fasilitas, SM3T hanya sebatas formalitas mengejar surat-surat agar mudah mencari kerja. Bopengku akhirnya ketahuan dan terkuak keluar. Misi membawa perubahan hanya gebrakan sesaat yang datangnya timbul tenggelam. Jika sudah ditinggal oleh orang-orangnya maka dianggap gagal, bahkan mesti masih ada sisa yang ada, itu pun masih dianggap gagal.
Buat apa aku berlama-lama di Dusun Sida Mulya jika hanya empat orang saja yang ku ajar, bukankah itu hanya buang-buang waktu. Percuma! toh mereka juga pasti putus dijalan, mending pulang mendapat pekerjaan yang selama ini ku cita-citakan. Mengajar benar-benar di sekolah, muridnya banyak dan tentu lebih mudah. Tempatku bukanlah di dusun Sida Mulya, dan itu sudah terbukti selama perjalanan satu tahun ini.
***
            Garis pembatas antara dusun Sida Mulya dan dusun terluar di kecamatan sudah kelihatan. Aku memicingkan mata, sinar matahari menerpa wajahku membuat aku terbangun. Pak Jo sudah berhenti mengemudi. Si hitam diparkirkan di salah satu sudut terminal yang masih kosong.
            “ Nduk, Bapak ke kamar mandi dulu, “ ucap Pak Jo, beliau tergesa menuju kamar mandi mungkin tak tahan menahan kencing selama delapan jam perjalanan. Aku berdiri tegak memandang terminal yang dua kali ini ku datangi, inikah yang terakhir?
            Saku bajuku terasa berat, ternyata surat dari Indah yang ku masukkan secara tergesa. Anak ini, belum sempat aku mendengar suaranya. Surat yang terbungku rapi, ku robek sebagian dan mengambil isinya. Rentetan tulisan tersusun apik menyembul ketika lipatan suratnya terbuka.
            Tak ku sangka, Indah memiliki bakat yang luar biasa dibalik diamnya selama ini, ternyata dia lah orang yang paling ngugu diantara 4 sekawan. Inilah isi surat Indah.
            Untuk : Bu Eka
            Bu Eka, Ibu pernah bertanya kepada kami semua tentang tujuh keajaiban yang ada di dunia ini setelah ibu selesai menerangkan tentang tempat-tempat yang bersejarah. Candi Borobudur, Kabah, Taj Mahal, Tembok Besar Cina, dan kejaiban-keajaiban lainya adalah jawaban-jawaban yang diberikan oleh Sobri, Zahra maupun Kamar.
            Setelah itu tiba giliran Indah, ibu terus bertanya tentang keajaiban dunia menurut Indah, tapi kala itu Indah tak memberikan jawaban apapun.  Indah terus diam seperti biasa.
            Lama indah ingin memberikan jawaban tapi tak dinanya ternyata ibu lebih dulu pergi ketimbang harus menunggu jawaban Indah. Keajaiban dunia menurut Indah adalah dapat menulis, menulis, dan menulis. Itu lah keajaiban dunia untuk Indah. Jadi terimaksih untuk Bu Eka yang telah mengajarkan Indah bagaimana caranya untuk menulis. Terimakasih.
                                                                                                            Homat saya,

                                                                                                                 Indah
Anak pendiam itu, keajaiban dunianya adalah menulis.  Baru setahun aku mengajarnya dan Indah telah memiliki kemampuan menulis melebihi anak seusianya. Apakah diamnya selama ini? Apakah Indah?
Pak Jo, sudah berdiri di hadapanku, ia tampak kebingungan aku belum menyiapkan apapun.
“ Nduk, apakah ada yang ketinggalan?  Kenapa masih belum bergegas?”
“ Pak Jo, saya boleh bertanya tentang satu hal ?”
“ Apa itu Nduk?”
“ Apakah Indah tidak bisa berbicara?”
Pak Jo diam, dari mimik mukanya aku sudah bisa menduga jawaban yang akan dilontarkannya. Setelah itu Pak Jo mengangguk.
***
Empat sekawan, murid-muridku maafkan gurumu ini, terkadang seorang guru memang melakukan kesalahan dan tugas seorang muridlah untuk mengingatkan      jika tidak gurumu ini akan berbuat khilaf untuk selamanya. Betapa bodohnya petani yang meninggalkan benih yang sudah susah payah ia tanam, meski yang tumbuh hanya sedikit  dan tidak sesuai harapan akan tetapi bukankah yang paling lama bertahanlah benih yang paling unggul.
Di dusun Sida Mulya akan tumbuh bakat-bakat yang luar biasa, dari keempat anak itu akan lahir seorang penyanyi yang hebat, akan lahir seorang pendongeng yang luar biasa, akan lahir seorang pelukis yang mempunyai sejuta makna dalam lukisannya dan akan lahir seorang penulis besar yang mampu mengetarkan jiwa. Jika aku kembali kerumah akan butuh waktu menanti yang lama kedatangan murid-murid luar biasa seperti mereka, kenapa harus ku sia-siakan yang sudah ada. Harusnya aku membimbing mereka dan mendidik mereka, bukannya malah melarikan diri, dan angkat tangan seperti ini.
Burung manyar, apakah ini cara yang kau gunakan untuk mencegahku, apakah lewat naluriku sebagai seorang guru kau membujukku dan mengiming-imingiku. Jika caramu seperti ini burung manyar, maka kurasa engkau sudah tahu jawabannya. Terbanglah lagi dan terus mangangkasa, hinggaplah ke dahan-dahan yang mulai patah,yang mulai meranggas, hinggaplah dan teruslah terbang burung manyar.susilestari51@yahoo.com
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Burung Manyar
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2013/04/burung-manyar.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Jumlah Tamu

Belajar SEO dan Blog support Online Shop Aksesoris Wanita - Original design by Bamz | Copyright of MANTRA BACA .