Maafkan Anakmu, Ibu!
Mei 14, 2014
0
komentar
Mei 2010
Stres melandaku. Menjatuhi pikiranku dengan bertubi-tubi
pertanyaan. Mengapa dia putuskan aku, disaat pernikahan sudah dekat? Hah! Mengapa?
Semua wanita memang sama saja. Di dalam jiwa mereka tertancap erat, kuat, dan
lekat tentang paham materialisme.
Telak hatiku yang remuk, membuat jiwaku bangkit. Ingin kubuktikan
bahwa lelaki yang telah dihina akan lebih semangat dari biasanya untuk mengejar
impian. Aku mulai mencari kerja. Melamar dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.
Namun, nihil. Tak satupun kabar yang
kuterima berisi kebahagiaan.
Aku mulai stres. Lebih dahsyat dari sebelumnya. Perlahan,
aku mulai berubah. Aku muak dengan hidup yang melulu menderaku dengan rasa
putus asa. Bersama dengan teman-temanku, aku mencari kenikmatan.
Merokok kini menjadi kenikmatan tersendiri untukku.
Segera setelah bangun tidur, aku duduk di kursi depan rumah. Menyulut rokok.
Menghembuskan asapnya, pelan. Ah, nikmatnya. Dalam sehari kuhabiskan satu
bungkus rokok, bahkan bisa lebih. Bagiku, rokok adalah segala-galanya. Jika
sehari tidak merokok ada sesuatu yang hilang dariku.
***
Ibu uring-uringan setiap waktu. Seringnya Ibu memaki-maki
kelakuanku yang berubah drastis. Mana anaknya yang dulu punya impian untuk
membahagiakan ibunya? Mana anaknya yang dulu punya segudang cara untuk mengejar
kesuksesan?
Ibu, anakmu sudah mati! Jiwanya lenyap bersamaan dengan
pengkhianatan yang dilakukan oleh mantan tunangannya dulu.
***
TV, kipas angin, dan kulkas, kujual sesuka hati. Aku
tidak peduli dengan teriakan Ibu yang diiringi tangisan membabi butanya. Yang
kutahu aku sangat butuh uang. Aku ingin rokok. Rokok, Ibu!
21 September 2013
Hari itu, setelah bangun kuambil sepotong roti yang ada
di meja. Aku lapar. Namun, mendadak aku diam. Baru sepotong roti yang
kumasukkan, aku tidak sanggup menelan. Tenggorokanku sakit. Seperti dihunjami
ratusan paku. “Ah, sakit!” batinku. Gelas yang kupegangi tiba-tiba terlepas
dari tangan. Pecah berkeping-keping.
Aku runtuh. Badanku ambruk. Selang beberapa hari
kemudian, kesehatanku semakin parah. Tenggorokanku semakin sakit. Terlebih
batuk yang menyertainya. “Ibu, ada apa dengan anakmu?” Kupanggil-panggil nama ibu
di antara desau nafasku yang begitu menyesakkan.
Darah yang kukeluarkan dari mulutku membuat ibuku
menjerit ketakutan. Lantas, Ibu mengantarku ke rumah sakit. Ya, awal Oktober kujalani
opname. Dokter mengatakan aku positif mengidap kanker tenggorokan akut karena merokok.
Kulihat Ibu meneteskan air matanya. Air mata yang
kesekian. Di antara selang infus yang melingkar dimulutku, aku merasakan bahwa
ibu berubah. Badannya mulai renta. Keningnya mulai berkerut. Beberapa helai
rambutnya memutih. Ibu, apa yang selama ini kulakukan?
***
Aku menyesal, Ibu. Sungguh! Jika waktu dapat diputar, aku
ingin kembali pada saat menjadi anakmu yang baik. Anakmu yang tidak
membangkang. Anakmu yang selalu membuat Ibu tersenyum.
Ibu kehabisan dana. Uangnya tidak cukup untuk membayar
semua biaya rumah sakit. Aku yang masih kritis terpaksa harus menjalani
kesakitan di ranjang rumah, setelah pihak rumah sakit mengusirku.
Ibu mengurusi aku setiap hari. Tanpa mengenal jeda. Tanpa
merasa lelah. Di bagian leherku telah tumbuh benjolan-benjolan yang mengerikan.
Darah yang kukeluarkan setiap hari semakin banyak. Berat badanku turun secara drastis.
Aku bagaikan zombi yang tulangnya menyumbul di sela-sela kulit.
Lengkingan suaraku
setiap kali batuk, selalu membuat ibu terbangun dari tidurnya. Setiap kali aku
makan, ibu melumatkan makanan sehalus mungkin agar aku tidak kesusahan menelan.
Setiap hari aku hanya bisa mengotori seprai tempat tidur dengan kotoran dan air
seni. Ibu, tanpa mengenal lelah, tanpa pernah berkeluh kesah, selalu mengurusi
semuanya untukku.
***
Di suatu pagi, aku tidak bisa bergerak sama sekali. Dua
mataku berseliweran mencari Ibu. Tepat di samping ranjangku, Ibu tengah
tertidur. Tangannya memangku kepalanya. Lama, kuperhatikan Ibu. Tiba-tiba air
mata ini meluncur tanpa pernah bisa kutahan.
Dalam diamnya. Dalam hembusan nafasnya yang telah lenyap.
Aku memandangi Ibu yang terkulai begitu damai.
“Maafkan anakmu, Ibu. Kalau boleh kuminta sesuatu padamu,
tolong apabila aku dilahirkan kembali, tetaplah menerima aku sebagai anakmu,
Ibu...”
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis di Blog “Diary sang Zombigaret”
Sumber Gambar: www.turnbacktogod.com%2Fstop-smoking-anti-smoking-ads-part
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Maafkan Anakmu, Ibu!
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://mantrabaca.blogspot.com/2014/05/maafkan-anakmu-ibu.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar